BAB I
Mengenal Sosok A. Hassan
A.
Mengenal Ahmad Hasan
Nama
Ahmad Hasan yang sebenarnya adalah Hasan bin Ahmad. Akan tetapi, bedasarkan
kelaziman penulisan nama keturunan india di singapura, yang menuliskan nama
orangtua (Ayah) di depannya, maka Hasan bin Ahmad lebih dikenal dengan nama
panggilan Ahmad Hasan. Dia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari
keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama
Sinna Vappu Maricar, ibunya bernama Muznah, berasal dari Palekat, Madras.
Keduanya menikah di Surabaya dan menetap di Singapura. Ayahnya seorang penulis
yang cukup ahli dalam agama islam dan kesustraan Tamil. Ahmad pernah menjadi
redaktur majalah Nur Al – Islam (sebuah majalah sastra Tamil), di samping
sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari
bahasa Arab. Ahmad sering berdebat
mengenai bahasa dan agama. Dalam surat kabar yang dikelolanya, ia bahkan
menyadiakan kolom tanya – jawab.
A Hasan
menikah pada tahun 1911 M dengan Maryam peranakan ini ia dikaruniai 7 orang
putra – putri: (1) Abdul Qodir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5)
Ahmad, (6) Muhammad Sa’id, (7) Manshur.
Pada
tahun 1921, A Hasan hijrah dari Singapura ke Surabaya dengan maksud untuk
mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Lathif. Pada
masa itu Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dengan kaum tua.
Kaum muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, soerang pendatang yang menaruh
perhatian dalam masalah – masalah keagamaan. Ia memimpin kaum muda dalam upaya
melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Surabaya dengan cara tukar
pikiran, tabligh, dan diskusi – diskusi keagamaan. Haji Abdul lathif, paman A
Hasan yang juga gurunya pada masan A Hasan masih kecil, mengigatkan A Hasan
agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakannya telah
membawa masalah – masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap pula oleh
pamannya sebagai orang Wahabi.
Tetapi
lain halnya dengan A Hasan, dalam suatu kunjungannya kepada Kiayai Haji Abdul Wahab,
yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdlatul Ulama, A Hasan Lebih banyak
mendengar pertikaian antara kaum muda denga kaum tua. Dalam percakapannya
dengan Kiayai Wahab ini, Kiayai Wahab mengambil salah satu contoh pertentangan
dalam masalah Ushalli (pembacaan
niyat dalam sebelum shalat) yang dipraktekan oleh kaum tua sebelum melakukan
ibadah shalat dengan bersuara, tetapi kaum muda menolak praktik ushalli ini
karena tidak ada dasarnya dari Al – Qur’an dan Hadits Nabi. Kaum muda
berpendapat bahwa agama, agar dikatakan agama, hendaklah didasarkan atas dasar
Al – Qur’an dan hadits shahih. Oleh karena itu ushalli merupakan hal yang baru yang diintrodusir oleh ulama yang
datang kemudian dan tidak terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut, maka kaum
muda menolaknya dan dianggap tidak tepat dibacakan pada saat sebelum shalat.
Masalah yang ditemukan A Hasan dalam pembicaraannya dengan Kiayai Wahab,
menyebabkan ia berfiqir lebih jauh tentang masaala tersebut, dan lambat laun ia
sampai kepada kesempulan berdasarkan penelitianya terhadap Alquran dan hadis
sahih bahwah kaum mudalah yang benar, ia ia tidak menemukan suatu dalil pun
yang mendukung terhadap praktik ushalli
kaum tua tersebut
Melihat persoalan yang muncul ke permukaan,
terutama masaala gerakan pembaharuan
islam yang sedang ramai dan pertentangan antara kaum tua dengan kaum
muda yang terus di Surabaya, A.Hasan lebih banyak lagi mencurahkan perhatianya
untuk memperdalam agama islam. Maksud sebenarnya datang ke Surabaya untuk
beragang tidak dapat di pertahangkan, bahakan
kemudian ia lebih banyak bergaul dengan Fiqih Hasyim dan kaum mudah
lainnya.
Usaha
dagangnya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran dan toko yangserahkn
diurusnya diserahkan kembali kepada pamanya. Ia memulai. Ia memulai usaha lain
dengan membuka perusahaan tambal ban mobil, tetapi tidak lama kemudian tutup.
Melihat usaha A. Hassan tidak mengalami kemajuan yang berarti, dua orang
sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim A. Hassan untuk mempelajari
pertenunan di Kediri kemudian melanjutkan belajarnya ke sekolah pertenunan
pemerintah yang ada di Bandung. Di Bandung inilah A. Hassan tinggal pada
keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri organisasi Persatuan Islam
(PERSIS). Dengan demikian tanpa sengaja
A. Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penalaahan dan
pengkajjian Islam dalam Jam’iyyah Persis. Ia sangat tertarik terhadap masalah –
masalah keagamaan. Pada akhirnya ia pun tidak lagi berminat mendirikan
perusahaan tenunnnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya disetujui
oleh kawan – kawanya. Akan tetapi perusahaan tenun yang didirikannya gagal
sehingga terpaksa tutup. Sejak itulah minatnnya untuk berusaha tidak ada lagi,
malahan kemudian ia mengabdikannya dirinya dalam penalahaan dan pengkajian Islam
lalu berkiprah secara total dalam jam’iyyah Persis.
Untuk
menelusuri perubahan sikap A. Hassan dalam agama, sukar untuk disimpulkan,
apakah terjadinya perubahan itu sejak ia belajar kepada para guru dan ulama
ketika masih di Singapura ataukah ketika ia bergaul baik dengan kaum muda di
Surabaya atau jam’iyyah Persis di Bandung. Namun, nampaknya perubahan ini
datang lambat laun karena berbagai hal yang mempengaruhi sikap A. Hassan
terhadap agama, antara lain pengaruh keluarga, pengaruh bacaan, dan pengaruh pergaulan.
Pada akhirnya ia mempunnyai sikap keagamaan yang mirip – mirip dengan gerakan
wahabi.
A. Hassan ketika itu sering melakukan kritik –
kritik terhadap praktik yang tidak berdasarkan Al – Qur’an dan As – Sunnah,
meskipun belum sekeras ketika ia berada di Bandung dalam naungan jam’iyyah
Persis. Kritik A. Hassan banyak dimuat dalam surat kabar Utusan Melayu yang terbit di Singapura. Salah satu krtiknya antara
lain mengungkapkan masalah taqbil atas
pengalaman sendiri.
Kiprah
A. Hassan di Persis sejalan dengan “Program Jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita –
cita dan pemikirannya, yakni menegakkan Al – Qur’an dan As – Sunnah. Hal ini ia
lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain mengadakan tabligh, kursus
pendidikan Islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai
buku, majalah, dan selebaran – selebaran lainnya. Persis benar – benar
menndapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap
perdebatan, meskipun kadang – kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini
yang menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan
kejumudan dikalangan umat Islam.
Masa –
masa berikutnya boleh dikatakan pendiriann Persis dengan A. Hassan menjadi
identik. Pandangan – pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata,
dan dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim modernis” di Indonesia. A. Hassan
dengan Persis atau Persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam pertukaran
pikiran, dialog terbuka, perdebatan, serta polemik di berbagai media massa.
Menjelang
pendudukan Jepang, pada 1941, A. Hassan terpanggil untuk kembali ke Surabaya.
Kepindahannya ke Surabaya diikuti pula para santrinya dari Pesantren Persis
Bandung. Di Bangil, kota kecil dekat Surabaya, ia mendirikan Pesantren Persis
seperti yang pernah dilakukannya di Bandung untuk mendidik para santrinya. Di
Bangil inilah, di sampiing kegiatan sehari -
harinya sebagai pendidik, perhatian A. Hassan ditumpahkan pada
penelitian agama Islam langsung dari sumber pokoknya Al – Qur’an dan As –
Sunnah. Puncaknya, A. Hassan berhasil menyusun tafsir Al – Qur’an yang diberi
judul Al – Furqon yang merupakan
tafsir Al – Qur’an pertama di Indonesia yang diterbitkan secara lengkap pertama
kali pada 1956 meskipun sebelumnya pernah diterbitkan dalam beberapa bagian
sejak 1930 – an. Selain itu, A. Hassan terus aktif menyampaikan pandangan dan
pendiriannya tentang agama Islam dalam berbagai penerbitan, di samping membalas
surat – surat dari berbagai pelosok tanah air mengenai masalah – masalah agama.
A.
Hassan adalah sosok ulama yang sangat menaruh perhaitan terhadap para pemuda
Islam yang sedang bersekolah di sekolah – di sekolah milik pemerintah kolonial
Belanda yang sangat kurang memberikan pelajaran agama Islam. A. Hassan
menyadari bahwa anak – anak muda yang tengah menuntut ilmu itu adalah calon
pemimpin di masa datang yang perlu di bekali dengan pengetahuan agama yang
memadai. Tekad A. Hassan untukk menarik para pemuda pelajar itu sangat kuat,
bagaimana pun sibuknya, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbicara dengan
para pemuda pelajar itu. Di tundanya pekerjaan yang sedang dikerjakannya, baik
sedang mengoreksi buku atau sedang menyusun tafsir, bercakap – cakap dengan
para pemuda calon pemimpin ummat, itu dianggapnya lebih penting.
Mohammad
Natsir adalah salah seorang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah
bimbingan A. Hassan. Dalam proses kaderisasi itu , kepribadian A. Hassan
menampilkan kesan tersendiri bagi murid – muridnya, dalam sebuah tulisannya
yang berjudul Membina Kader Bertanggungjawab Natsir menulis: “.... Kami,
beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore
datang kerumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati
terbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna,
pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah Saw. Beliau memperlihatkan
rasa dekatnya kepada kami”.
Natsir
selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses kaderisasi yang
dilakukan A. Hassan dalam hal melatih memberikan reaksi terhadap tantangan yang
dilancarkan oleh kelompok non-islam. Pada suatu hari, surat kabar berbahasa
belanda Algemeen Indisch Dablad(AID) di Bandung menurunkan tulisan khotbah
seorang pendeta bernama Christoffles, isi nya menghina nabi muhammad Saw.
Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya menangkis penghinaan itu,
dan bahkan mengharapkan A. Hassanuntuk membantahnya. A. Hassan menyatakan
keharusan itu, tetapi mengusulkan agar natsir sendiri yang menulisnya. Setelah
selesai, tulisan itu tidak di bawa lagi ke A. Hassan karna natsir sudah menduga
akan di kembalikan lagi dengan alasan bahwa A. Hassan tidak mengerti bahasa
belanda. Setelah tulisan itu di buat dalam surat kabar AID, A. Hassan tersenyum dan menyatakan
terimakasihnya. Tulisan itu kemudian terbit dalam bentuk risalah berjudul muhammad als profeet.
Dari
pengalaman seperti ini natsir menyatakan kesannya sebagai berikut: beliau tidak
mau menyuap suatu ibarat makanan kepada kader-kadernya, tetapi haruslah berbuat
sendiri dengan penuh tanggung jawab. Semboyannya adalah “bila seorang bayi
selalu di pangku saja, dia tidak akan
pandai berjalan” kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah
kita pandai sendiri menyelesaikannya. Beliau mendidik kadernya berani
bertanggung jawab dan sanggup berjuang mengahadapi masalah-masalah, walaupun
bagaimana rumitnya. Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda islam.
Kami, pemuda – pemuda yang berada didekat beliau selau disiplin dengan
ketat, dan diberi tanggung jawab masing – masing. Jika kami mengajukan suatu
masalah agama, beliau tidak menjawabnya langsung, tetapi disuruhnya mencari
dalam kitab – kitab yang ada dalam berbagai bahasa, terutama Arab dan Inggris.
Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al – Kahiri, Abdurrahman,
Qomaruddin Saleh, Isa Anshary, dan lainnya.
A.
Hassan juga adalah orang yang memberikan pencerahan tentang Islam kepada
Soerkano. Perkenalannya dengan Bung Karno diawali ketika keduanya sama – sama
bertemu di percetakan Drukerij Economy milik
orang Cina. Pada waktu itu soekarno sedang mencetak surat kabar propaganda
politiknya Fikiran Rakjat, sementara A. Hassan mencetak majalah – majalah dan
buku – buku yang ia terbitkan. Dalam setiap pertemuannya di percetakan itu,
antara keduanya sering terjadi dialog berbagai masalah. Rupanya sejak bergaul
dengan A. Hassan, Soekarno yang tadinya kurang memahami betul tentang Islam,
sedikit demi sedikit terbukanya hatinya. Demikianlah, soekarno mulai banyak
belajar agama Islam kepada A. Hassan meski pada tahap permulaan hanya melalui
obrolan di percetakan. Lambat laun Soekarno belajar lebih aktif melalui buku –
buku dan majalah – majalah karang A. Hassan.
Terlebih
lagi ketika Soekarno menjalani hukuman pembuangan oleh pemerintah kolonial
Belanda di Endeh Flores. Dalam kesepiannya Bung Karno merasa terhibur dengan
datangnya kiriman buku – buku dan majalah – majalah dari A. Hassan. Setiap
kapal yang merapat ke Endeh, selau membawa kiriman dari Bandung dari Tuan
Hassan, tidak hanya buku dan majalah tetapi juga makanann kegemaran Bung Karno,
biji jambu mede. Sejak di Endeh Flores itulah, Soekarno mengakui A. Hassan
sebagai gurunya dalam hal agama. Lihatlah beberapa surat yang dikirimkannya
kepada A. Hassan yang terdapat dalam buku karangan Soekarno Di Bawah Bendera Revolusi dalam satu bab
Khusus Surat – surat Islam Dari Endeh, dari Ir. Soekarno kepada Tuan A.
Hassan, Guru “Persatuan Islam”
Surat –
surat Islam dari Ir. Soekarno kepada A. Hassan dapat menjadi saksi begitu
dekatnya Soekarno dengan A. Hassan, meskipun sebelumnya terjadi polemik
berkepanjangan tentang Islam dan faham kebangsaan. A. Hassan selalu menghantam
kaum nasionalis netral agama di bawah pimpinan Soekarno dalam tulisan –
tulisannya di majalah Pembela Islam. Namun, A. Hassan tidak pernah dendam
kepada Soekarno dan kawan – kawannya. Hal ini terbukti ketika Soekarno berada
di dalam penjara Sukamiskin, A. Hassan dan kaum pembela Islam yang rajin
menjenguknya dan memberikan buku – buku bacaan dalam penjara itu. Inilah suatu
hal yang istimewa dalam diri A. Hassan. Beliau menganggap Soekarno adalah
kawannya, dan tak pernah mendapat pujian dari padanya tentang gerakan dan cita – cita nasionalismenya.
Hanyalah kritik dan hantaman tajam. Tetapi ketika Soekarno berada baik dalam
penjara maupun pembuangannya di Endeh, A. Hassan memperlihatkan kebersihan hati
dan jiwanya. A. Hassan beranggapan bahwa Soekarno adalah seorang “muallaf” yang
perlu diberi bimbingan ruh batiniahnya dengan keislaman. Ia menganggap Soekarno
adalah kawannya yang selalu ditentangnya, kawan yang selalu menjadi lawan
polemik dan kritik. Dalam hal ini tepatlah jika Tamar Djaja mengistilahkan A.
Hassan dengan perumpamaan : “Singa dalam tulisan, tapi domba dalam pergaulan”.
Pada
Senin, 10 Nopember 1958 di Rumah Sakit Karang menjangan (Rumah Sakit Dr.
Soetomo) Surabaya, A. Hassan berpulang ke rahmatullah dalam usia 71 tahun.
Ulama besar yang dikenal dengan A. Hassan Bandung (ketika masih di Bandung)
atau A. Hassan Bangil (sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru
dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian,
dan kegigihannya dalam menegakkan Al – Qur’an dan As – Sunnah meski kadang di
sampaikannya dengan pemikiran yang “radikal”, sehingga tepatlah Syafiq A.
Mughni (1980) memberi judul bukunya tentang A. Hassan dengan judul Hassan Bandung, pemikir Islam Radikal.
B. Karier
Intelektual
Sekitar
usia tujuh tahun, sebagaimana anak – anak pada umumnya, bersekolah dan mengaji.
A Hasan mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 sambil berusaha belajar
privat untuk menguasai bahasa Arab dengan maksud. pada agar dapat memperdalam pengetahuannya tentang
Islam. Pelajaran yang diterima A Hasan saat itu sama saja dengan apa yang
diterima oleh anak – anak lain, seperti tata cara shalat, wudhu dan shaum.
A Hasan
lebih banyak mempelajari ilmu nahwu dan ilmu sharaf pada Muhammad Thalib. Pada
saat gurunya pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa Arab
pada Said Abdullah Al – Musawi selama tiga tahun. Di samping itu, ia pun
belajar pada pamannya, Abdul Lathif seorang ulama yang terkenal di Malaka dan
Singapura, serta belajar pula pada Syekh Hasan ulama asal Malabar, dan Syekh
Ibrahim ulama asal India. Dalam mempelajari dan memperdalam agama Islam kira –
kira 1910, menjelang ia berusaha 23 tahun.
Di
samping belajar memperdalam agama Islam, dari 1910 hingga 1921, A Hasan
menekuni berbagai macam pekerjaan di Singapura. Sejak 1910 ia telah menjadi
guru tidak tetap di Madrasah orang – orang India di Arab Street, Baghdad
Stereet, dan Geylang hingga 1913. Kemudia menjadi guru tetap menggantikan
Fadlullah Suhaimi pada Madrasah Assegaf di jalan Sulthan. Sekitar 1912 – 1913,
A Hasan menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang di terbitkan
oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.
Di samping itu, pidato – pidatonya pun kadang – kadang bersifat
kritis. Dalam sebuah pidato ia mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga oleh
pihak pemerintah ia dianggap berpolitik dalam berpidatonya itu, akhirnya ia
tidak diperkenankan lagi berpidato di muka umum. Setelah berhenti beberapa
saat, sejak 1915 – 1916, ia kembali aktif membantu surat kabar Utusan Melayu dengan bentuk dan sifat
tulisan yang sama.
C.
A. Hassan Ulama ahli Debat
Banyak
pihak yang mengenal A. Hassan sepakat bahwa ia memiliki retorika yang kuat.
Gagasan – gagasannya jernih dan bernas. Oleh karena itu, sering dijumpai A.
Hassan terjun dalam berbagai forum perdebatan dan polemik dengan beragam tokoh
agama, bahkan dengan tokoh – tokoh nasionalis. Dr. Syafiq Mughni mengatakan
bahwa, dengan A. Hassan sebagai pembicara utamanya, Persis menjadi satu –
satunya organisasi Islam yang suka berdebat, atau menurut istilah Prof. Dr.
Deliar Noer, Persis akan gembira dengan perdebatan dan polemik. Tampaknya
perdebatan merupakan salah satu sarana Persis untuk mengembangkan paham –
pahamnya. A. Hassan merupakan motor pembicara yang sangat populer dan disegani.
Beberapa masalah yang yang terangkat kepermukaan antara lain, soal talqin,
tahlil, lafall niat, bid’ah, khurafat, taklid, dan sebagainya. Masalah –
masalah itu boleh dikatakan baru sebagai tema diskusi sehingga kerap
menimbulkan salah paham.
Polemik
tentang masalah – masalah di atas menghadapkan A. Hassan dengan Al – Ittihadul
Islamiyah di Sukabumi, dengan tokohnya Kiai Sanusi, lalu dengan Majelis Ahlus –
Sunnah di Bandung. Tahun 1932, di Ciledug, Cirebon, perdebatan terjadi dengan
tokoh NU lokal, Haji Abdul Khair, dan di Gedang Cirebon tahun 1936 demgan
Maqsudi. Pada tahun 1935. A. Hassan berdebat dengan tokoh NU yang pernah di
jumpainya, yaitu K.H. Wahab Hasbullah. Sebelum tokoh NU itu datang ke Bandung,
sudah tersiar berita bahwa ia akan berceramah tentang kewajiban taklid bagi umat Islam. Dengan cepat
Persis mengajukan ke NU cabang Bandung untuk membantah hukum wajib taklid. Akan
tetapi, permohonan itu ditolak. Persis sendiri malah mengumumkannya di beberapa
surat kabar dan menyebarkan selebaran tentang haramnya bertaklid. Akhirnya,
permintaan Persis diluluskan dan pertemuan kedua tokoh itu terjadi tanggal 18
November 1935.
Menurut
K.H. Wahab Hasbullah, umat Islam yang tidak dapat berijtihad, baik mengetahui
dalilnya atau tidak, wajib bertaklid kepada Imam empat Madzhab itu. Dasarnya
adalah al – Qur’an:
“kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang –
orang lelaki yang kami beri wahyu. Oleh karena itu, bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui”. (Q.S. 16:43)
Sedangkan
pendapat A. Hassan tentang ittiba bagi mereka yang mengikuti, menurut K.H.
Wahab Hasbullah, tidak dikenal dalam agama Islam. (Subhan:2000:96)
Perbedaan
pandangan juga membuat Persis dan SI retak tahun 1932. Persis memberi perhatian
terhadap apa yang membentuk amaliah dan penekanan pada masalah – masalah
taklid, talqin dan niat untuk diangkat ke dalam gerakan politik. Menurut
Persis, kemunduran umat Islam adalah karena mengabaikan prinsip – prinsip agama
dan melemahkannya melalui bid’ah. (Subhan:2000:96). Sikap itu bertentangan
dengan H.O.S. Tjokroaminoto yang yakin bahwa perbedaan itu harus diminimalisi
demi persatuan umat.
Selain
itu dengan pihak Ahmadiyah Qodiyan. A. Hassan berhadapan dengan tokoh – tokoh
mereka seperti Rakhmat Ali, Abu Bakar Ayyub, dan Abdul Razaq. Debat itu
didominasi oleh persoalan kebenaran tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad. A.
Hassan dengan tegas mengatakan bahwa dalil Ahmadiyah Qodiyan tidak benar, dan
argumentasi yang dikemukakan juga tidak betul. Forum debat itu terjadi tiga
kali antara tahun 1933 – 1934, baik di Bandung maupun di Jakarta. Hasilnya
justru tokoh yang ketiga (Abdul Razaq) bertobat dan mengundurkan diri dari
Ahmadiyah Qodiyan. (Subhan:2000:97)
Dengan
pihak Kristen pun, yakni Seven Day Adventist. A. Hassan berdebat tentang
kebenaran agama Kristen dan Bibel. Decade 1930-an umat Islam sering mendapat
cercaan pihak – pihak lain, terutama orang – orang Kristen. Cercaan itu bahkan menyerang
pribadi Nabi Muhammad Saw. Tercatat. Pada April 1931, seorang pendeta di Jawa
Tengah, Johannes Josephus Ten Berger, menulis artikel bahwa Nabi Saw. adalah
seorang antropomorfis dan terlalu memperhatikan seks dan wanita untuk membangun
agama yang lebih tinggi. Juga artikel Oei Bee Thay dan Hoakien menyebutkan
bahwa Nabi Saw. adalah seorang pembunuh aspiran, gila, dan perampok. Tahun
1937, Siti Sumandari dan Soeroto, dalam tulisannya mengatakan, bahwa pandangan
Islam tentang masalah pernikahan dan poligami karena keinginan dan kecemburuan
Nabi Saw.
D.
Wafatnya A. Hassan
Masa
tua Ahmad Hassan tampaknya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus pesantren
Bangil, meski tetap memandang secara kritis kebijakan pemerintah mengenai
Islam. Ia tetap menjadi tokoh kunci dalam bidang pendidikan Islam dan tetap
menganjurkan agar potensi Islam tampil dalam pentas nasional.
Ketika
usianya melewati 70 tahun, tepatnya tanggal 10 November 1958, A. Hassan
meninggal dunia. Ia mewariskan berbagai pembaharuan terhadap Islam yang tak
ternilai harganya, baik melalui berbagai perdebatan dan pandangannya yang
kritis ataupun berbagai buku – buku yang tentu saja dapat di baca oleh generasi
muslim sesudahnya. Pada hari – hari terakhirnya, tumpukan buku masih terlihat
di dekatnya. Cara pandangannya selalu kritis terhadap berbagai persoalan ibadah
dan muamalah, menyebabkan ia termasuk sedikit ulama yang kritis (Subhan SD:2000:119-120).
BAB II
A.
Hassan Pemikirannya dengan Persatuan Islam
A. Hassan memasuki
Persatuan Islam sebagai anggota resmi. A. Hassan merasa tertarik dengan
kegiatan – kegiatan organisasi ini, sehingga berani meninggalkann rencana
semula untuk memajukan tekstilnya di Surabaya. Selanjutnya A. Hassan tekun dan
serius memusatkan perhatiannya dalam penelitian agama, mengajar dan giat
memajukan organisasi. Kehadiran A. Hassan betul – betul merupakan tenaga baru
bagi Persatuan Islam, pandangan – pandangannya memberikan bentuk dan
kepribadian nyata, sehingga bisa menempatkan Persatuan Islam dalam barisan
muslim pembaru.
Dalam usaha
pemabaharuannya, A. Hassan memiliki etos juang dan metode pendekatan yang
heroik, meski ia pun tetap memiliki kepribadian yang simpatik, sabar dan supel.
Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pikiran dan cita – citanya, dengan
cara debat yang cenderung menantang konflik, sehingga banyak mengundang respon
dan gejolak yang cukup hangat. Berkali – kali, di berbagai tempat ia
melakukannya, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim. Kegiatan lain
dilakukannya dalam bidang penafsiran Al – Qur’an dalam bahasa Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan tafsir Al –
Furqon, penerbitan, melancarkan polemik – polemik yang dapat merangsang
pemikiran dan daya kritis umat yang lebih besar. Al – Lisan misalnya, media cetak berkala Persatuan Islam, menjadi
corong yang mengagungkan suara Persatuan Islam bukan saja dalam pemikiran hukum
Islam, tetapi juga melancarkan polemik – polemik muamalah, politik dan ideologi
pada jamannya. Kegaitan A. Hassa ini cukup memberikan dampak positif, sekaligus
menjadi model bagi kepentingan gerakan pemabaruan Islam di tanah air. Bahkan
pengaruh pemikiran A. Hassan kini telah tersebar luas di Indonesia, Malaysia,
Singapuran dan Muangthai.
Bila dibandingkan dengan dua
ulama terkemuka pendiri organisasi lainnya, semisal K.H. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiya, dan K.H. Hasyim Asyari, pendiri NU, tampaknya ia tidak populer
mereka. Barangkali, kalau mau ditilik lebih dalam lagi, hal itu agaknya
berkaitan dengan organisasi Persisnya, karena penyebarannya tidak terlampau
menjamur, suatu perkembangan yang berbeda dengan Muhammadiyah dan NU.
Padahal, perdebatan mengenai
keislaman yang kerap menimbulkan polemik pada dekade 1920-an hingga 1930-an,
tentu saja tidak dapat dituliskan tanpa peran penting ulama yang satu ini.
Oleh karena itulah, ia
disejajarkan dengan ulama – ulama reformasi lainnya yang banyak dipeengaruhi
oleh pandangan – pandangan Syekh Muhammad Abduh. Sebagaimana yang dikatakan
oleh ulama besar Prof. Dr. Hamka bahwa di Jawa ada tiga ulama yang terkemuka
yang menyebarkan paham – paham Syekh Muhammad Abduh, yakni syekh Muhammad
Syoorkati, pembangun Al – Irsyad, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan
A. Hassan yang menjadi salah satu pendiri Persis. (Subhan SD:76: 2000)
Dalam wacana Islam, nama Ahmad
Hassan tentu tidak dapat dilepaskan dari radikalisme pemikiran Islam. Ia
dikenal sebagai pendebat ulang yang karena logika berpikirnya, ia banyak
dihormati, termasuk oleh lawan – lawan debatnya. Tanpa segan – segan, ia
menolak berbagai hal yang diyakininya bertentangan dengan Islam, mulai dari
masalah ibadah hingga persoalan sosial politik umat Islam. Dalam mempertahankan
pendapatnya, sikapnya sangat keras dan konsisten.
Sebagai ulama militan, ia tidak
diragukan lagi. sepanjang hidupnya dia mendebat orang – orang atheis,
Ahmadiyah, Kristen, bahkan sempat menyadarkan sebagian diantara mereka. Kslu
berdebat, lawannya selalu diberondong terus – menerus hingga mati kutu. Ia
mempunyai resep tentang itu, “kalau lawan bertanya harus dijawab dengan
pertanyaan pula, lalu carilah kelemahan pada tiap – tiap perkataan. (Subhan:
77: 2000)
Yang sangat mencolok adalah
keteguhannya berpegang pada Al – Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran
Islam. Ia tak memberi toleransi pendapat, terutama jika tanpa sama sekali
mengacu pada dua sumber tersebut. Karena sikapnya kerasnya itu, banyak timbul
kecaman dari pihak lain, termasuk teman – temannya sendiri. Tampaknya berbagai
pandangan A. Hassan seakan menantangn pendapat umum yang justru sudah melembaga
dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat.
Meski berbeda pendapat, ia
tidak pernah mempedulikannya. Mau di sanjung atau dibenci, baginya, tidak
menjadi soal. Ia tidak pernah menggadaikan dirinya. Oleh karena itu, tidak aneh
bila membaca berbagai tulisannya yang tersebar, baik berupa buku yang jumlahnya cukup banyak atau yang
ada di media massa, ia dianggap garang seperti singa, meski sesungguhnya dalam
pergaulan ia dikenal ramah seperti domba. Sentuhan kemanusiaannya sangat
terasa. Misalnya, ia sangat menghargai tamu yang datang kepadanya. Bahkan,
setiap surat yang dikirimkan dari siapa saja untuk bertaya tentang masalah –
masalah keagamaan, ia pasti membalasnya.
Oleh karena itu, dapat di
pahami jika A. Hassan dengan telaten membalas surat – surat yang dikirimkan
Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende, Flores, pertengahan tahun 1930-an.
Hal itu terbukti Persatuan Islam
menjelma menjadi Organisasi yang paling ekstrim dan liberal dalam melakukan penentangan
terhadap tradisi – tadisi yang dianggap merupakan ajaran agama, bid’ah,
khurafat dan tahayul, disamping Muhammadiyah dan Al – Irsyad.
Alam pemikiran dengan gaya khas
keras seperti itu, semakin menemukan bentuknya ketika A. Hassan memperkenalkan
pendapatnya tentang beragama yang benar, yaitu hubungan manusia dengan tuhan
tergantung pada benar tidaknya ia memahami dan melaksanakan hukum – hukum
Islam. Beberapa pendapatnya tentang agama adalah sebagai berikut (Badri
Khaeruman: 2010: 48)
1.
Kehidupan
seorang muslim tidak dapat dipisahkan dari ketentuan – ketentuan hukum Islam
sebagai konsekuensi logis dari penyerahan dirinya (dalam bahasa arab aslama)
kepada Tuhan. Manusia sebagai abid atau
hamba harus melaksanakan tugasnya yaitu ibadah
atau taat sepenuhnya kepada Allah sebagai khaliq atau pencipta, dan sekaligus Ma’bud atau yang dipertuan, atau sebagai sumber kekuasaan. Untu
itu setiap orang harus membersihkan dirinya dari kepercayaan dan tradisi yang
tidak diperintahkan oleh Islam.
2.
Betapa
pun besarnya seorang ulama atau imam, menurut A. Hassan, ia tidak lebih dari
seorang guru yang dapat mengajarkan ilmu – ilmunya kepada masyarakat. Tetapi
setiap anggota masyarakat memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak
mengikuti pendapatnya. Oleh karena itu, A. Hassan tidak membenarkan adanya
madzhab. Pendapat madzhab empat yang terkenal itu pun bisa salah jika ternyata
tidak sesuai Qur’an dan Sunnah.
3.
Secara
umum hidup ini berdasarkan Qadha dan Qadar Allah. Seseorang yang menempati
suatu rumah atau pun tidak menempatinya, itu semua adalah takdir Allah. Jadi
tidak ada kekuasaan lain seperti hari dibuatnya rumah itu, atau kemana
menghadapnya rumah itu, yang dapat menentukan seseorang menempati rumah atau
tidak. Dengan perkataan lain seorang muslim tidak boleh mempercayai naas, tempat naas dan sebagainya, karena
kepercayaan itu mengurangi ke imanannya kepada Allah Yang Maha Esa, atau bahkan
ia telah menjadi musyrik, suatu dosa
besar dalam Islam
Pemahaman ini kemudian diterima oleh sebagian besar
anggota Persatuan Islam, tetapi menjadikan beberapa anggota yang lain terpaksa
menyingkir, karena mereka tidak sependapat. Mereka merasa perlu tetap
bermadzhab untuk kejelasan hukum – hukum dan cara beribadah. Maka tidak dapat
dihindari kelompok kecil yang tidak sependapat dengan A. Hassan ini kemudian
memisahkan diri dan membentuk kelompok tadingan yang diberi nama “Permufakatan
Islam”, dan memang mereka ini adalah atas orang – orang yang berpaham Islam
Tradisonal. Sedangkan sebagian besar anggota Persatuan Islam sebagian besar
anggota Persatuann Islam tetap pada pendiriannya dan bahkan menyatakan
Persatuan Islam sebagai gerakan Islam modern. Peristiwa ini terjadi pada tahun
1926. (Badri Khaeruman: 48 – 49)
Dalam buku karya Drs. Syafiq A. Mughni yang berjudul HASSAN
BANDUNG Pemikir Islam Radikal, dikemukakan tentang pemikiran – pemikiran A.
Hassan yang setidaknya setiap masalah selalu dihubungkan dengan tiga masalah,
yaitu: (a) Sumber Hukum Islam (b) Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid (c) Bid’ah
a.
Sumber Hukum Islam
A. Hassan
tidak pernah membatasi secara tegas jumlah sumber hukum itu, tetapi yang pokok
ialah Al – Qur’an dan As – Sunnah. Sedang Ijma dan Qiyas sesungguhnya
tidak berdiri sendiri.
Al
– Qur’an, menurut bahasa berarti “bacaan”, menurut istilah “nama
kitab yang utama agama Islam yang isinya semata – semata wahyu Allah kepada
Muhammad”. Al – Qur’an juga merupakan kitab suci ummat Islam yang kalimat,
rangkain dan susunannya, isi dan maknanya dari Allah. Demikian penjelasan A.
Hassan.
As
– Sunnah/ Al – Hadits, menurut bahasa artinya: yang baru, khabaran.
Sedangkan menurut Istilah dalam Ilmu Mushthalah Hadits ialah “khabaran yang
berisi ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat atau kebenaran, yang orang katakan
dari Nabi Saw, maupun khabaran itu sah dari Nabi Saw atau tidak”. Ada lagi
menurut Ilmu Ushul Fiqh, bahwa yang dimaksud Sunnah menurut bahasa
artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan menurut Istilah syara
ialah perkataan Nabi Muhammad Saw. perbuatannya, dan keterangannya yaitu
sesuatu yang dikatakan atau yang diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh
Nabi , tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang
hukumnya.
Ulama
– ulama hadits membagi hadits menjadi dua bagian, yang boleh dipakai dan yang
tidak. Hadits yang boleh dipakai ada dua bagian yaitu Mutawatir dan Ahad.
Mutawatir ialah hadits yang didengar dari Nabi oleh orang banyak, lalu
disampaikan kepada orang banyak. Begitulah seterusnya sampai tercatat di kitab
– kitab hadits. Sedangkan Ahad, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi
oleh orang – orang yang tidak sebanyak hadits Mutawatir.
Hadits
yang tidak boleh dipakai, dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits lemah
riwatnya dan yang palsu riwayatnya. Kedua macam hadits ini tidak boleh dipakai
untuk menetapkan sesuatu hukum hala, haram, sunnah atau makruh. Ia hanya boleh
dipakai untuk membantu keterangan saja, bukan jadi pokok pedoman.
Demikian
pandangan – pandangan A. Hassan tentang pemakaian hadits. Adapun hadits dhaif
yang dipakai untuk fadla’ilul A’mal, A. Hassan menyatakan keberatan,
karena betapapun hadits dhaif adalah hadits yang tidak dapat diakui datang dari
Nabi. (Syafiq A. Mughni:1980:24)
Jadi
yang bisa dipakai sebagai sumber hukum Islam ialah hadits – hadits yang sah
riwayatnya, disamping tidak bertentangan dengan ayat Al – Qur’an atau hadits
yang riwayatnya lebih kuat. Jika ada yang demikian, maka hadits tersebut
hendaklah di takwilkan dengan arti yang tidak menyimpang dari ketentuan Bahasa
Arab. Tetapi bila tidak mungkin di takwilkan maka harus di diamkan (tawaqquf)
sementara, yakni tidak dipakai.
Ijma,
menurut bahasa yaitu, “bersatu, mengadakan persatuan, mengumpulkan”. Menurut
Istilah dalam Ilmu Ushul Fiqh ialah “kebulatan pendapat semua ahli ijtihad
ummat Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara
(hukum)”.
A. Hassan
menyatakan bahwa sebagian ulama memandang keputusan mujtahidin seperti itu sebagai pokok sumber hukum Islam
seperti Al – Qur’an dan hadits, sedang yang lain tidak membenarkannya karena
disamping tidak alas an yang kuat juga tidak dapat dipastikan berkumpulnya
semua ulama mujtahidin tertentu.
Ijma
yang diakui oleh A. Hassan ialah Ijma Shahabat Nabi. Ijma ini diterima sebagai
sumber hukum Islam, karena kita percaya bahwa mereka tidak akan berani
bersepakat menentukan suatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari
Nabi. Sekaligus ini berarti bahwa pada hakikatnya Ijma Shahabat itu tidak
berdiri sendiri dan oleh karena itu tidak perlu dijadikan sumber hukum Islam
yang pokok seperti Al – Qur’an dan Al – Hadits. (Syafiq A. Mughni:1980:25).
Qias,
menurut bahasa artinya menimbang, mengukur, membandingkan, menentukan”. Dalam
istilah agama, Qias berarti “memberikan suatu hukum yang sudah ditentukan
oleh agama untuk suatu perkara kepada perkara lain yang hukumnya belum
ditentukan oleh agama, karena keduanya ada persamaan”. Selanjutnya A.
Hassan memberikan contoh Qias antara gandum dan beras. Dalam hukum Islam, ummat Islam diwajibkan
mengeluarkan zakat gandum. Kita telah mengetahui bahwa zakat antara lain
diberikan untuk menolong fakir miskin. Oleh karena di Indonesia tidak di tanam
gandum atau makanan pokoknya bukan berapa gandum akan tetapi berupa beras,
sedang fakir miskin tetap memerlukan pertolongan, maka kita harus mengeluarkan
zakat beras. Menyamakan gandum dengan beras itu dinamakan Qias.
Dalam
masalah keduniaan, A. Hassan membenarkan Qias dipakai sebagai cara menentukan hukum,
asal hukum itu diambil dari Al – Qur’an atau Hadits. Jika demikian maka Qias
tidak berdiri Sendiri. Oleh karena itu bukanlah pokok.
Dalam
masalah ibadah, A. Hassan menolak sama sekalia adanya Qias, karena berarti
penambahan baru dalam ibadah. Selain ibadah yang telah ditentukan Allah dan
Rasulnya terbilang bid’ah. (Syafiq A. Mughni:1980:26)
b.
Ijtihad, Ittiba dan Taqlid
Ummat
Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya melalui tiga jalan. Jalan
tersebut ialah Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid. Ketiga hal itu menjadi permasalahn
yang hangat dibicarakan di antara ummat Islam, dan A. Hassan adalah seorang
yang terlibat di dalamnya.
Ijtihad,
oelh Hassan diartikan “bersungguh-sungguh”. Maksudnya ialah bersungguh-sungguh
memeriksa keterangan tentang suatu perkara yang sulit, dengan memahami secara
halus atau dengan mengqiaskan, sungguhpun mengqias itu hanya dipakai dalam
urusan agama yang sifatnya keduniaan.
Untuk
menjadi seorang mujtahid harus tahu bahasa Arab dan ilmunya, ilmu tafsir, ilmu
ushul fiqh, ilmu hadits sekedar untuk memeriksa dan memahami arti dan maksud
ayat – ayat Al – Qur’an dan As – Sunnah. Demikian syarat mujtahid menurut A.
Hassan.
Kapan
ijtihad bisa dilakukan? A. Hassan berpendapat bahwa ijtihad mungkin terjadi
kapan saja sejak zaman Nabi, Shahabat, tabi’in dan seterusnya samapai masa –
masa yang akan datang.
Menurut
A. Hassan pada dasarnya agama mengharuskan agar setiap orang dalam rangka
mengamalkan dan memahami agama, dengan jalan ijtihad, kecuali bagi orang –
orang yang tidak memenuhi syarat. Jika demikan halnya maka ia harus memilih
alternatif lain yaitu Ittiba.
Ittiba,
menurut bahasa artinya mengikut, membuntut. Selanjutnya A. Hassan
memberi pengertian bahwa ittiba ialah menurut, menerima atau mengerjakan
sesuatu yang ditunjukan oleh seseorang dengan mengetahui alasannya dari Al –
Qur’an atau As – Sunnah. (Syafiq A. Mughni:1980:27)
Seorang
yang berittiba (muttabi) tidak selalu mengetahui bahasa Arab dan tidak harus
mampu memeriksa sah tidaknya suatu hadits. Ia cukup memahami dengan diterangkan
arti dan kedudukan dalil – dalilnya oleh seorang muttaba (yang diikuti).
Sebagaimana
ijtihad, ittiba ini menurut A. Hassan mungkin terjadi pada zaman Nabi,
Shahabat, Tabi’in dan seterusnya tanpa batas waktu.
Taqlid,
oleh A. Hassan diartikan meniru, menurut, mencontoh. Maksudnya ialah
meniru mengerjakan atau menerima suatu hukum dari seseorang dengan tidak
mengetahui alasannya dari Al – Qur’an atau As – Sunnah.
A.
Hassan menentang cara taqlid ini secara
keras karena menurut pendapatnya “Allah haramkan kaum muslimin taqlid kepada
siapa pun, walau bagaimana pun besar pangkatnya dan ilmunya, kecuali kepada
Allah dan Rasulnya. Orang yang tidak bisa ijtihad wajib ittiba yakni turut
sesuatu dengan tahu alasannya dari Al – Qur’an atau Hadits”.
Larangan
taqlid itu bukan saja dari Al – Qur’an, bahkan imam – imam yang empat dengan
keras dan berulang – ulang melarang orang lain menurut mereka dan bahkan
menurut pendapatnya, kita harus kembali kepada nash – nash yang lebih kuat jika
terdapat perbedaan.
Diantara
ayat Al – Qur’an yang tegas – tegas melarang taqlid ialah (Q.S. Bani Israil:
36)
Artinya: “dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung jawaban”.
Ayat
itu menunjukan haramnya taqlid, termasuk kepada ima – imam madzhab, karena
menurut pengertian A. Hassan, bermadzhab itu sama dengan bertaqlid.
Sebagai
manusia biasa seorang imam madzhab tetap terbuka kemungkinan berbuat salah
dalam mengambil suatu keputusan dengan sengaja atau tidak, mereka bukan ma’shum
sebagaimana Nabi – nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat
dikalangan imam – imam madzhab, karena masing – masing tidak mendapatkan sunnah
rasul secara lengkap sehingga mereka bersusah payah mengadakan ijtihad. Mereka
tidak memiliki bahan yang sama, apa yang didapat oleh seorang imam mungkin
tidak diketahui oleh imam lainnya, sehingga pendapat mereka berbeda – beda.
Tetapi
menurut A. Hassan, sekarang sunnah rasul sudah banyak ditulis dalam berbagai
kitab, sehingga lebih mudah mendapatkan hadits – hadits, maka kita tentu lebih
mudah berijtihad bagi yang memenuhi syarat – syaratnya. Adapun bagi yang tidak
mampu bertijtihad, wajib ittiba dan tidak boleh bertaqlid.
Pikiran
A.hassan tentang ijtihad, ittiba dan taqlid ini menjadi salah satu koreksi
terhadap sistem ummat Islam memahami dan mengamalkan ajaran agama pada saat
itu, dan sekaligus merupakan tantangan terhadap doktrin tertutupnya pintu
ijitahad.
c.
Bid’ah
Seorang
beragama mewujudkan penghambaan kepada Tuhan denga suatu sistem ibadah yang
diatur menurut cara – cara tertentu. Khusus dalam Islam penghambaan diri itu
berwujud ibadah dengan cara yang diatur menurut ketentuan ajaran Islam, ajaran
yang bersumber pada Al – Qur’an dan As – Sunnah.
Bagi
pemeluk islam, menurut A. Hassan, beribadah kepada Allah ialah mengerjakan
perintah – perintahnya, sembari menjauhi larangan – larangannya.
Seluruh
aktifitas seorang muslim yang dilakukan dalam rangka itu, pada hakikatnya
adalah ibadah menurut pengertian yang luas, tetapi di sisi lain ada pengertian
ibadah dalam arti khas. Ibadah dalam arti khas itu, A. Hassan menyebutnya
sebagai masalah yang berkenaan dengan ke akhiratan, sedang diluar itu disebut
masalah keduniaan.
Ajaran
yang terkandung dalam Al – Qur’an dan Hadits menurut A. Hassan adan dua macam
perkara, yaitu yang berkenaan dengan (1)
keduniaan (2) keakhiratan.
Keduniaan,
menurut pengertian A. Hassan ialah segala masalah atau perbuatan yang bisa atau
mungkin dikerjakan manusia, walaupun seandainya tidak ada agama di dunia ini.
Hal yang demikian disebut juga “ma’qulul ma’na” yaitu sesuatu yang sebab
dan maksudnya bisa dipahami oleh akal pikiran. Perkara keduniaan ini jika
ditetapkan oleh agama, disebut urusan agama bagi keduniaan. Jika agama
mewajibkan maka hukumnya wajib, jika mensunnahkan hukumnya sunnah dan jika
memakruhkan sebaiknya ditinggalkan. Jika sama sekali tidak ditegaskan oleh
agama, hukumnya adalah mubah.
Tentang
keakhiratan, A. Hassan menyebutkan sebagai masalah atau yang seandainya tidak
ada petunjuk agama, manusia tidak akan mengerjakannya. Hal ini dinamakan “ghairu
ma’qulil ma’na yaitu sesuatu yang sebab dan tujuannya tidak bisa dipahami
oleh akal pikiran. Dalam masalah ini hanya ada hukum wajib dan sunnah,
sedangkan selain itu adalah haram dan bid’ah. Dan dengan demikian tidak ada
bid’ah lain kecuali haram.
Khusus
dalam masalah yang kedua itu bisa disebut ada dalam Islam, jika didasarkan atas
keterangan sumber – sumber hukum Islam. Bila tidak, maka itulah yang hakikatnya
disebut bid’ah. A. Hassan menyebut bid’ah sebagai perbuatan atau bacaan yang
bersifat keakhiratan (ibadah) yang dilakukan orang, padahal tidak ada
keterangan dari agama, yaitu menurut sumbernya yaitu Al – Qur’an dan As –
Sunnah.
Agama
Islam dengan amat keras melarang umat Islam melakukan bid’ah. Demikian kerasnya
larangan itu, kata A. Hassan, maka seorang yang darang menghadiri acara yang
didalamnya terdapat bid’ah adalah haram, kecuali jika kedatangannya itu untuk
mengubah dengan tangan atau ucapan.
Dalam
beribadah kepada Allah, seseorang harus melakukannya persis seperti yang
termaktub dalam Al – Qur’an dan di contohkan Nabi, tanpa penambahan atau
pengurangan. Oleh karena itu A. Hassan menolak bacaan Ushalli ketika
memulai shalat, bacaan wa bi hamdih dalam tasbih rukuk dan dan sujud,
dalam bacaan Sayyidina dalam shalawat tasyahud, dan doa qunut selain
qunut Nazilah, serta :qadla’us shalah” yaitu menunda shalat, karena
masing – masing tidak berdasarkan keterangan agama, dan oleh karena itu haram
dikerjakan.
Demikian
pula upacara – upacara yang dihukum A. Hassan sebagai bid’ah antara lain, Talqin
mayat yang baru ditanam dalam kubur, jamuan makan dan Tahlil di rumah
keluarga yang kematian, membaca maulid sambil berdiri, pesta bulan ke tujuh
bagi orang hamil atau tingkeban.
Pandangan
A. Hassan tentang bid’ah ini sekaligus merupakan seruan kepada ummat Islam
untuk melihat kembali cara mereka melaksanakan ajaran Islam. Tentu saja hal ini
mengundang beberapa tanggapan karena menyangkut suatu kebiasaan yang telah
mapan dikalangan mereka, sungguhpun kemudian ternyata diantara mereka ada yang
memiliki alasan, tetapi setidak – tidaknya mereka mengadakan pandangan kembali
terhadap amalan selama ini.
d.
Paham Kebangsaan
Sebelum
Indonesia merdeka ada beberapa pergerakan yang berjuang menuju kemerdekaan
Indonesia. Di antaranya ada yang berdasarkan kebangsaan yakni semata-mata untuk kepentingan bangsa tanpa
menjadikan agama tertentu sebagai pandangan politik dan sumber inspirasi. Di
pihak lain ada yang sebaliknya yaitu berdasar dan bercorak agama tertentu.
Pihak pertama tidak menghendaki dan bahkan melarang orang melibatkan agama
dalam segala pembicaraan serta tidak menghendaki islam di jadikan dasar sesuatu
sungguh pun mereka pemeluk Islam. Inilah yang di sebut sebagai netral agama.
A.
Hassan memandang sikap ini sebagai
menyempitkan langkah mempersatukan bangsa Indonesia karna pada hakikatnya
menjurus pada benci agama. Ia menerima sikap netral agama itu jika di artikan
sebagai suatu sikap memberi kesempatan orang mengemukakan pendapat sesuai
dengan keyakinan agama masing-masing.
Apakah
demikian kenyataan yang ada? A. Hassan menganggap kenyataan saat itu menunjukan
bahwa paham kebangsaan dipakai oleh pergerakan yang bersikap tidak tau menau
agama mereka untuk mencapai kemerdekaan, yang nantinya akan di laksanakan
hukum-hukum buatan manusia sendiri. Sebaliknya pergerakan Islam berusaha
mencapai kemerdekaan yang nantinya akan di laksanakan hukum-hukum Islam.
Jika
paham kebangsaan seperti yang tertera di atas maka secara tegas A. Hassan
menolaknya karna di anggap tidak sesuai dengan ajaran islam.
Nabi Muhammad
Saw bersabda:
“bukan termasuk
golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyyah, bukan termasuk golongan
kami orang yang mati karena membela ashabiyyah.”
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Rasulullah Saw ditanya tentang seseorang yang berperang karena
keberaniannya, berperang karena mempertahankan diri dan berperang karena riya.
Manakah yang termasuk di jalan Allah? Rasulullah Saw menjawab: barang siapa
yang berperang untuk menjunjung tinggi kalimah Allah maka ia di jalan Allah”.
Ke
dua hadits itu, menurut A. Hassan, menunjukan bahwa seseorang tidak boleh
mengorbankan jiwanya selain karena Allah, tidak karena bangsa dan tanah air.
Dengan
hadits-hadits itu A. Hassan berpandangan bahwa cinta bangsa tidak terbilang
ashabiyyah yang secara tegas tidak di ridhoi Allah, kecuali bila ada
unsur-unsur kedzaliman.
Karena
iyu satu-satunya pilihan bagi A. Hassan ialah ummat Islam harus melaksanakan
hukum-hukum Allah dan untuk itu harus ada pemerintahan islam. Kali ini
didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang mengharuskan terlaksananya hukum-hukum
Allah. Jika tidak demikian maka kita berarti berbuat kedzaliman.
Hal
inilah yang di artikan oleh A. Hassan dengan pergerakan paham kebangsaan pada
saat itu, sehingga ia menilai:
“bahwa masuk dan membantu pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan
itu menuju pada membuang undang-undang Allah dan Rasul-Nya dan menggantikan
dengan hukum-hukum bikinan manusia, sebagai mana telah nyata dalam teori
peraktik mereka”.
Cinta
bngsa dan tanah air bagi seorang muslim ialah berusaha agar kaum muslimin (a)
maju dalam pendidikan (b) maju dalam ekonomi (c) maju dalam tehnologi (d)
sekurang-kurangnya tidak di bawah derajat negara-negara lain (e) mengurus
negrinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam kitabullah dan
Sunnah Rasul.
Pemikiran
A. Hassan tentang paham kebangsaan dan pemerintahan ini adalah cerminan sikap
politiknya yang benar-benar didasarkan atas ajaran Islam. Pemerintahan islam
baginya adalah pilihan lain dari paham kebangsaan yang di anggapnya sebagai
tidak memberikan tempat bagi agama. Ia menginginkan Islam memasuki seluruh
aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinannya bahwa kebenaran ajaran
islam adalah mutlak. Islam di pandangnya sebagai sesuatu yang tertinggi dan
terluas menerjang batas-batas ke bngsaan dan ketanah airan. Hal ini terlihat
dalam sikapnya yang menentang terbatsnya ke anggotaan Masyumi khusus bagi orang
Indonesia, sedangkan ia berdasarkan Islam.
A.
Hassan adalah seorang pemikir yang
semasa hidupnya sebagian berada di alam penjajahan dan sebagian lagi di alam
demokrasi liberal. Iklim saat itu amat memungkinkan tumbuhnya perbedaan
pendapat, sampai pada masalah yang amat mendasar sekalipun, misalnya dasar
negara dan undang-undang dasarnya.
Dalam
iklim seperti itulah A. Hassan menyatakan keharusan adanya pemerintahan yang
berdasarkan Islam. Namun demikian, Indonesia dengan berbagai bentuk UUD yang
telah di ambil, belum pernah mengambil selain Pancasila. A. Hassan sebagai
anggota Masyumi yang telah menerima kenyataan itu, nampaknya tidak pernah
menolak sikap partainya. Hal ini membawa kemungkina bahwa A. Hassan menerima
sikap partainya sebagai satu tahapan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam
di Indonesia.