Senin, 27 Oktober 2014

Contoh Makalah Deadlock


DEADLOCK

MODUL

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Operasi

Di Susun Oleh            : Husni Mubarok
Semester                     : II
NIM                            : 13090516

Dosen Pembimbing   : Dian Novia Usemahu, S.Kom



http://2.bp.blogspot.com/-xq4wQ4WGVDU/UMHJXv6a2lI/AAAAAAAAAJU/zHvFqFAq9qk/s1600/ikmi+logo.jpg













JURUSAN AKUNTANSI KOMPUTER
INSTITUT KOMPUTER MANAJEMEN INFORMATIKA RISKINA BEKASI
TAHUN AJARAN 2013 M/ 1434 H










A.    Pengertian
Deadlock atau pada beberapa buku disebut Deadly Embrace adalah keadaan dimana dua program memegang kontrol terhadap sumber daya yang dibutuhkan oleh program yang lain. Tidak ada yang dapat melanjutkan proses masing-masing sampai program yang lain memberikan sumber dayanya, tetapi tidak ada yang mengalah. Juga bisa dikatakan Deadlock adalah  proses menunggu suatu kejadian tertentu yang tak akan pernah terjadi.
Contoh :
                Misalkan terdapat dua buah proses , yaitu P1 dan P2 dan dua buah sumber daya kritis
                Yaitu R1 dan R2 . Proses P1 dan P2 harus mengakses  kedua sumber daya tersebut,
                dengan kondisi ini  maka akan terjadi  R1 akan diberikan kepada P1, dan R2 akan di
                berikan kepada P2 , karena didalam melakukan eksekusi kita memerlukan kedua sum-
                ber daya tersebut sekaligus maka kedua proses akan saling menunggu  sumber daya
                lain selamanya, proses tidak melepaskan sumber daya yang telah dipegangnya
                karena menunggu sumber daya lain yang tak pernah diperolehnya. Maka kedua pro-
                ses dalam kondisi Deadlock  yang tidak dapat membuat kemajuan apapun, dan Dead-
                lock merupakan kondisi terparah karena dapat melibatkan banyak proses dan semua-
                nya tidak mengakhiri proses secara benar.

Deadlock mungkin terjadi apabila keempat karakteristik terpenuhi. Empat kondisi tersebut adalah:
1.      Mutual ExclusionKondisi yang pertama adalah mutual exclusion yaitu proses memiliki hak milik pribadi terhadap sumber daya yang sedang digunakannya. Jadi, hanya ada satu proses yang menggunakan suatu sumber daya.
2.      Hold and WaitKondisi yang kedua adalah hold and wait yaitu beberapa proses saling menunggu sambil menahan sumber daya yang dimilikinya.
3.      No PreemptionKondisi yang selanjutnya adalah no preemption yaitu sebuah sumber daya hanya dapat dilepaskan oleh proses yang memilikinya secara sukarela setelah ia selesai menggunakannya.
4.      Circular Wait . Kondisi yang terakhir adalah circular wait yaitu kondisi membentuk siklus yang berisi proses-proses yang saling membutuhkan.
Urutan kejadian pengoperasian perangkat input/output adalah Sbb:
a.       Meminta (request)       :meminta pelayanan perangkat input/output
            b    Memakai (user)             :memakai perangkat input/output
            c    Melepaskan (release)    :melepaskan pemakaian perangkat input/output
                       
B.     Model Deadlock

Model deadlock dua proses dan dua sumber daya


Misalnya :
a.       Dua buah proses P1 dan P2
b   Dua buah sumber daya  R1 dan R2











 




  


    R0
 

    R0
 
                                                                                                                                                     




             Gbr    a                                                                                                            Gbr  b
  Gambar.   1  Deadlock dua proses dan dua sumber daya




Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa P0 meminta sumber daya pada R0, sedangkan P1 meminta sumber daya pada R1 , kemudian  P0 sambil menggenggam sumber daya R0 meminta sumber daya R1 sedangkan P1 sambil mengenggam sumber dayaR1 juga meminta sumber daya pada R0  kejadian inilah yang mengakibatkan Deadlock seperti kita lihat pada gambar dibawah ini   graph deadlock ini digambarkan sebagai graph melingkar  dan terjadinya deadlock ini juga  ditandai dengan muncul nya graph melingkar:


 










                 Gambar 2. Graph Deadlock dengan dua prose dan dua sumber daya


Deadlock dapat juga terjadi dengan melibatkan lebih dari dua proses dan dua sumber daya. Urutan kejadian pengoperasian perangkat I/O adalah:
Ø  Meminta / request       : meminta pelayanan I/O
Ø  Memakai / use             : memakai perangkat I/O
Ø  Melepaskan / relase     : melepaskan pemakaian perangkat I/O

C.    Syarat – syarat terjadinya deadlock:
·         Mutual ExclusionKondisi yang pertama adalah mutual exclusion yaitu proses memiliki hak milik pribadi terhadap sumber daya yang sedang digunakannya. Jadi, hanya ada satu proses yang menggunakan suatu sumber daya.
·         Hold and Wait Condition. Proses – proses yang sedang menggenggam sumber daya yang telah dialokasikan untuknya sementara menunggu sumber daya – sumber daya tambahan yang baru.
·         No Preemption ConditionKondisi yang selanjutnya adalah no preemption yaitu sebuah sumber daya hanya dapat dilepaskan oleh proses yang memilikinya secara sukarela setelah ia selesai menggunakannya.
·         Circular Wait Condition. Harus terdapat rantai sirkuler / satu lingkaran proses dari dua proses atau lebih dimana setiap proses memegang satu atau lebih sumber daya yang diminta oleh proses berikutnya pada lingkaran tersebut, masing – masing menunggu sumber daya yang digenggam oleh anggota berikutnya pada rantai itu.
Ketiga syarat pertama merupakan syarat perlu bagi terjadinya deadlock. Keberadaan deadlock selalu berarti terpenuhi kondisi – kondisi diatas, tidak mungkin terjadi deadlock bila tidak ada ketiga kondisi itu. Deadlock terjadi berarti terdapat ketiga kondisi itu, tetapi adanya ketiga kondisi itu belum berarti terjadi deadlock.
D.    Metode – metode mengatasi deadlock
1.      Deadlock prevention/ metode pencegahan terjadinya deadlock
Pengkondisian system agar menghilangkan kemungkinan terjadinya deadlock. Pencegahan merupakan solusi yang bersih dipandang dari sudut terjadi tercegahnya deadlock. Jika mulainya satu atau lebih proses akan menyebabkan terjadinya deadlock, proses tersebut tidak akan dimulai sama sekali.
Ø  Tiap proses harus meminta resource yang dibutuhkan sekaligus dan tidak bisa berjalan sampai sampai semua didapat untuk “wait for”﴿
Ø  Jika ada resource yang tidak terpenuhi, yang harus dilepas untuk “no preemption”﴿
Ø  Urutkan tipe – tipe resource secara linier/ linier ordering untuk “circular wait”﴿
2.      Deadlock avoidance/ metode penghindaran terjadinya deadlock
Menghindarkan kondisi yang paling mungkin menimbulkan deadlock agar memperoleh sumber daya lebih baik. Penghindaran bukan berarti menghilangkan semua kemungkinan terjadinya deadlock. Jika system operasi mengetahui bahwa alokasi sumber daya menimbulkan resiko deadlock, system menolak/ menghindari pengaksesan itu. Dengan demikian menghindari terjadinya deadlock. Contohnya dengan menggunakan algoritma Banker yang diciptakan oleh Dijkstra.
3.      Deadlock detection and recovery/ metode deteksi dan pemulihan dari deadlock
Deteksi digunakan pada system yang mengijinkan terjadinya deadlock, dengan memeriksa apakah terjadi deadlock dan menentukan proses dan sumber daya yang terlibat deadlock secara presisi. Begitu telah dapat ditentukan, system dipulihkan dari deadlock degan metode pemulihan. Metode pemulihan dari deadlock system sehingga beroperasi kembali, bebas dari deadlock. Proses yang terlibat deadlock mungkin dapat menyelesaikan eksekusi dan membebaskan sumber dayanya.
E.     Pencegahan Deadlock
v  Tiap proses harus meminta sumber daya yang diperlukan sekaligus dan tidak berlanjut sampai semuanya diberikan.
v  Jika proses telah sedang memgang sumber daya tertentu, untuk permintaan berikutnya proses harus melepas dulu sumber daya yang dipegangnya. Jika diperlukan, proses meminta kembali sekaligus dengan sumber daya yang baru.
v  Beri pengurutan linier terhadap tipe – tipe sumber pada semua proses, yaitu jika proses telah dialokasikan suatu tipe sumber daya, proses hanya boleh berikutnya meminta sumber daya tipe pada urutan yang berikutnya.
Saran pencegahan deadlock diatas merupakan cara meniadakan salahsatu dari syarat perlu. Syarat pertama perlu jelas tidak bisa di tiadakan, kalau tidak menghendaki kekacauan hasil.








Daftar Pustaka

Usemahu Dian Novia. 2014. Modul Sistem Operasi. Institut Komputer dan Manjemen Informatika Bekasi
operasi.doc&ei=S0jrUrvlF8yTrgeSnIDoCg&usg=AFQjCNHePwgVmeexPsJyR5bHU4qKKezOkw&bvm=bv.60444564,d.bmk Ahad, 09 Februari: 12.30 WIB﴿
http://mas-devid.blogspot.com. Ahad, 09 Februari: 12.30 WIB﴿




Selasa, 21 Oktober 2014

Fatwa Syech Yusuf Qordhawi tentang ISIS


DEKLARASI KEKHALIFAHAN ISIS
MENURUT SYEIKH YUSUF QARDHAWI
Oleh: Husni Mubarok al – Beukasyi
Pemimpin Ulama se-Dunia, Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kekhalifan Islam oleh ISIS melanggar hukum syariah, tegasnya pada awal Juli lalu.
            Pekan lalu, kelompok jihadis yang tergabung dalam ISIS mendeklarasikan “khalifah Islam” di daerah – daerah yang mereka kuasai di Irak dan Suriah dan memerintahkan umat Islam di seluruh dunia bersumpah setia (berbai’at) kepada pemimpin mereka Abu Bakr al – Baghdadi.
            Syeikh Qardhawi, adalah tokoh dan pemimpin dari Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang sekarang bermukim di Qatar, mengatakan dalam sebuah pertanyaan bahwa deklarasi khilafah “batal di bawah syariah”.
            Sebelumnya, pemimpin ISIS Baghdadi telah menyerukan umat Islam yang memiliki kemampuan di bidang militer, medis dan manajerial, hendaknya bergegas ke Irak, dan membantu perjuangan menegakan khilafah, dalam sebuah rekaman audio yang dirilis pada waktu lalu.
            “Mereka yang bisa berimigrasi ke Daulah Islam harus bermigrasi, seperti berimigrasi ke Daulah Islam adalah tugas”, kata Abu Bakr al-Baghdadi. “khlifah” dalam rangka menegakkan Syariah membutuhkan ‘hakim, militer, dokter dan insinyur di segala bidang,” tambahnya.
“Melawan musuh – musuh Allah dan mencari kematian di tempat di mana anda berharap untuk menemukan kematian itu”, katanya. “Saudara – saudaramu, di setiap bagian dari dunia ini, sedang menunggu anda untuk menyelamatkan mereka,” ajaknya.
Tetapi tokoh jihad Jordan, Abdurrahman al-Maqdisi, berbeda pendapat soal deklarasi khilafah oleh ISIS dan Abu Bakr al-Baghdadi itu. Al-Maqdisi mengkhawatirkan akan semakin banyak terjadi pertumpahan darah. Karena, mereka yang menolak berbai’at, kemudian dianggap sebagai ‘kafir’, dan wajib di perangi. Ini akan semakin menimbulkan kekacauan yang lebih luas di Timur Tengah.
            Ahli Fiqh al-Azhar, Dr.Zein al-Najjah, saat bertemu dengan para wartawan dari berbagai media Islam di Jakarta, mengatakan hendaknya menunggu, bersabar jangan tergesa menyikapi deklarasi ISIS.
            Perbedaan yang sangat tajam ini, mengakibatkan perpecahan, dan kemudian peperangan sesama mujahidin. Ini akan semakin melemahkan gerakan jihad di seluruh dunia. Dewasa ini dunia menyaksikan gerakan jihad melawan kafir musyrik (Yahudi dan Nasrani) sedang tumbuh, termasuk menghadapi Syiah rafidhoh yang sekarang ini sudah menjadi ancaman nyata.

Minggu, 20 April 2014

Mengenal A. Hassan



BAB I
Mengenal Sosok A. Hassan
A.       Mengenal Ahmad Hasan
Nama Ahmad Hasan yang sebenarnya adalah Hasan bin Ahmad. Akan tetapi, bedasarkan kelaziman penulisan nama keturunan india di singapura, yang menuliskan nama orangtua (Ayah) di depannya, maka Hasan bin Ahmad lebih dikenal dengan nama panggilan Ahmad Hasan. Dia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, ibunya bernama Muznah, berasal dari Palekat, Madras. Keduanya menikah di Surabaya dan menetap di Singapura. Ayahnya seorang penulis yang cukup ahli dalam agama islam dan kesustraan Tamil. Ahmad pernah menjadi redaktur majalah Nur Al – Islam (sebuah majalah sastra Tamil), di samping sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab.  Ahmad sering berdebat mengenai bahasa dan agama. Dalam surat kabar yang dikelolanya, ia bahkan menyadiakan kolom tanya – jawab.
A Hasan menikah pada tahun 1911 M dengan Maryam peranakan ini ia dikaruniai 7 orang putra – putri: (1) Abdul Qodir, (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa’id, (7) Manshur.
Pada tahun 1921, A Hasan hijrah dari Singapura ke Surabaya dengan maksud untuk mengambil alih pimpinan toko tekstil milik pamannya, Haji Abdul Lathif. Pada masa itu Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dengan kaum tua. Kaum muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, soerang pendatang yang menaruh perhatian dalam masalah – masalah keagamaan. Ia memimpin kaum muda dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh, dan diskusi – diskusi keagamaan. Haji Abdul lathif, paman A Hasan yang juga gurunya pada masan A Hasan masih kecil, mengigatkan A Hasan agar tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakannya telah membawa masalah – masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap pula oleh pamannya sebagai orang Wahabi.
Tetapi lain halnya dengan A Hasan, dalam suatu kunjungannya kepada Kiayai Haji Abdul Wahab, yang kemudian menjadi seorang tokoh Nahdlatul Ulama, A Hasan Lebih banyak mendengar pertikaian antara kaum muda denga kaum tua. Dalam percakapannya dengan Kiayai Wahab ini, Kiayai Wahab mengambil salah satu contoh pertentangan dalam masalah Ushalli (pembacaan niyat dalam sebelum shalat) yang dipraktekan oleh kaum tua sebelum melakukan ibadah shalat dengan bersuara, tetapi kaum muda menolak praktik ushalli ini karena tidak ada dasarnya dari Al – Qur’an dan Hadits Nabi. Kaum muda berpendapat bahwa agama, agar dikatakan agama, hendaklah didasarkan atas dasar Al – Qur’an dan hadits shahih. Oleh karena itu ushalli merupakan hal yang baru yang diintrodusir oleh ulama yang datang kemudian dan tidak terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut, maka kaum muda menolaknya dan dianggap tidak tepat dibacakan pada saat sebelum shalat. Masalah yang ditemukan A Hasan dalam pembicaraannya dengan Kiayai Wahab, menyebabkan ia berfiqir lebih jauh tentang masaala tersebut, dan lambat laun ia sampai kepada kesempulan berdasarkan penelitianya terhadap Alquran dan hadis sahih bahwah kaum mudalah yang benar, ia ia tidak menemukan suatu dalil pun yang mendukung terhadap praktik ushalli kaum tua tersebut
 Melihat persoalan yang muncul ke permukaan, terutama masaala gerakan pembaharuan   islam yang sedang ramai dan pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda yang terus di Surabaya, A.Hasan lebih banyak lagi mencurahkan perhatianya untuk memperdalam agama islam. Maksud sebenarnya datang ke Surabaya untuk beragang tidak dapat di pertahangkan, bahakan  kemudian ia lebih banyak bergaul dengan Fiqih Hasyim dan kaum mudah lainnya.
Usaha dagangnya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran dan toko yangserahkn diurusnya diserahkan kembali kepada pamanya. Ia memulai. Ia memulai usaha lain dengan membuka perusahaan tambal ban mobil, tetapi tidak lama kemudian tutup. Melihat usaha A. Hassan tidak mengalami kemajuan yang berarti, dua orang sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin, mengirim A. Hassan untuk mempelajari pertenunan di Kediri kemudian melanjutkan belajarnya ke sekolah pertenunan pemerintah yang ada di Bandung. Di Bandung inilah A. Hassan tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri organisasi Persatuan Islam (PERSIS). Dengan  demikian tanpa sengaja A. Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penalaahan dan pengkajjian Islam dalam Jam’iyyah Persis. Ia sangat tertarik terhadap masalah – masalah keagamaan. Pada akhirnya ia pun tidak lagi berminat mendirikan perusahaan tenunnnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya disetujui oleh kawan – kawanya. Akan tetapi perusahaan tenun yang didirikannya gagal sehingga terpaksa tutup. Sejak itulah minatnnya untuk berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikannya dirinya dalam penalahaan dan pengkajian Islam lalu berkiprah secara total dalam jam’iyyah Persis.
Untuk menelusuri perubahan sikap A. Hassan dalam agama, sukar untuk disimpulkan, apakah terjadinya perubahan itu sejak ia belajar kepada para guru dan ulama ketika masih di Singapura ataukah ketika ia bergaul baik dengan kaum muda di Surabaya atau jam’iyyah Persis di Bandung. Namun, nampaknya perubahan ini datang lambat laun karena berbagai hal yang mempengaruhi sikap A. Hassan terhadap agama, antara lain pengaruh keluarga, pengaruh bacaan, dan pengaruh pergaulan. Pada akhirnya ia mempunnyai sikap keagamaan yang mirip – mirip dengan gerakan wahabi.
 A. Hassan ketika itu sering melakukan kritik – kritik terhadap praktik yang tidak berdasarkan Al – Qur’an dan As – Sunnah, meskipun belum sekeras ketika ia berada di Bandung dalam naungan jam’iyyah Persis. Kritik A. Hassan banyak dimuat dalam surat kabar Utusan Melayu yang terbit di Singapura. Salah satu krtiknya antara lain mengungkapkan masalah taqbil atas pengalaman sendiri.
Kiprah A. Hassan di Persis sejalan dengan “Program Jihad” jam’iyyah Persis yang ditujukan terutama pada penyebaran cita – cita dan pemikirannya, yakni menegakkan Al – Qur’an dan As – Sunnah. Hal ini ia lakukan dengan berbagai aktivitas, antara lain mengadakan tabligh, kursus pendidikan Islam bagi generasi muda, mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku, majalah, dan selebaran – selebaran lainnya. Persis benar – benar menndapat tenaga yang luar biasa dengan keberanian A. Hassan dalam setiap perdebatan, meskipun kadang – kadang berlangsung sangat keras, namun hal ini yang menyebabkan terbukanya pemikiran kritis dalam menghancurkan taqlid dan kejumudan dikalangan umat Islam.
Masa – masa berikutnya boleh dikatakan pendiriann Persis dengan A. Hassan menjadi identik. Pandangan – pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian yang nyata, dan dalam waktu yang bersamaan telah menempatkan Persis dalam barisan “muslim modernis” di Indonesia. A. Hassan dengan Persis atau Persis dengan A. Hassannya banyak terlibat dalam pertukaran pikiran, dialog terbuka, perdebatan, serta polemik di berbagai media massa.
Menjelang pendudukan Jepang, pada 1941, A. Hassan terpanggil untuk kembali ke Surabaya. Kepindahannya ke Surabaya diikuti pula para santrinya dari Pesantren Persis Bandung. Di Bangil, kota kecil dekat Surabaya, ia mendirikan Pesantren Persis seperti yang pernah dilakukannya di Bandung untuk mendidik para santrinya. Di Bangil inilah, di sampiing kegiatan sehari -  harinya sebagai pendidik, perhatian A. Hassan ditumpahkan pada penelitian agama Islam langsung dari sumber pokoknya Al – Qur’an dan As – Sunnah. Puncaknya, A. Hassan berhasil menyusun tafsir Al – Qur’an yang diberi judul Al – Furqon yang merupakan tafsir Al – Qur’an pertama di Indonesia yang diterbitkan secara lengkap pertama kali pada 1956 meskipun sebelumnya pernah diterbitkan dalam beberapa bagian sejak 1930 – an. Selain itu, A. Hassan terus aktif menyampaikan pandangan dan pendiriannya tentang agama Islam dalam berbagai penerbitan, di samping membalas surat – surat dari berbagai pelosok tanah air mengenai masalah – masalah agama.
A. Hassan adalah sosok ulama yang sangat menaruh perhaitan terhadap para pemuda Islam yang sedang bersekolah di sekolah – di sekolah milik pemerintah kolonial Belanda yang sangat kurang memberikan pelajaran agama Islam. A. Hassan menyadari bahwa anak – anak muda yang tengah menuntut ilmu itu adalah calon pemimpin di masa datang yang perlu di bekali dengan pengetahuan agama yang memadai. Tekad A. Hassan untukk menarik para pemuda pelajar itu sangat kuat, bagaimana pun sibuknya, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbicara dengan para pemuda pelajar itu. Di tundanya pekerjaan yang sedang dikerjakannya, baik sedang mengoreksi buku atau sedang menyusun tafsir, bercakap – cakap dengan para pemuda calon pemimpin ummat, itu dianggapnya lebih penting.
Mohammad Natsir adalah salah seorang yang terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Dalam proses kaderisasi itu , kepribadian A. Hassan menampilkan kesan tersendiri bagi murid – muridnya, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Membina Kader Bertanggungjawab Natsir menulis: “.... Kami, beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore datang kerumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah Saw. Beliau memperlihatkan rasa dekatnya kepada kami”.
Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses kaderisasi yang dilakukan A. Hassan dalam hal melatih memberikan reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-islam. Pada suatu hari, surat kabar berbahasa belanda Algemeen Indisch Dablad(AID) di Bandung menurunkan tulisan khotbah seorang pendeta bernama Christoffles, isi nya menghina nabi muhammad Saw. Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya menangkis penghinaan itu, dan bahkan mengharapkan A. Hassanuntuk membantahnya. A. Hassan menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar natsir sendiri yang menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak di bawa lagi ke A. Hassan karna natsir sudah menduga akan di kembalikan lagi dengan alasan bahwa A. Hassan tidak mengerti bahasa belanda. Setelah tulisan itu di buat dalam surat kabar AID,  A. Hassan tersenyum dan menyatakan terimakasihnya. Tulisan itu kemudian terbit dalam bentuk risalah berjudul muhammad als profeet.
Dari pengalaman seperti ini natsir menyatakan kesannya sebagai berikut: beliau tidak mau menyuap suatu ibarat makanan kepada kader-kadernya, tetapi haruslah berbuat sendiri dengan penuh tanggung jawab. Semboyannya adalah “bila seorang bayi selalu di pangku saja, dia tidak akan  pandai berjalan” kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya. Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang mengahadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan  pemuda islam.  Kami, pemuda – pemuda yang berada didekat beliau selau disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab masing – masing. Jika kami mengajukan suatu masalah agama, beliau tidak menjawabnya langsung, tetapi disuruhnya mencari dalam kitab – kitab yang ada dalam berbagai bahasa, terutama Arab dan Inggris. Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al – Kahiri, Abdurrahman, Qomaruddin Saleh, Isa Anshary, dan lainnya.
A. Hassan juga adalah orang yang memberikan pencerahan tentang Islam kepada Soerkano. Perkenalannya dengan Bung Karno diawali ketika keduanya sama – sama bertemu di percetakan Drukerij Economy milik orang Cina. Pada waktu itu soekarno sedang mencetak surat kabar propaganda politiknya Fikiran Rakjat, sementara A. Hassan mencetak majalah – majalah dan buku – buku yang ia terbitkan. Dalam setiap pertemuannya di percetakan itu, antara keduanya sering terjadi dialog berbagai masalah. Rupanya sejak bergaul dengan A. Hassan, Soekarno yang tadinya kurang memahami betul tentang Islam, sedikit demi sedikit terbukanya hatinya. Demikianlah, soekarno mulai banyak belajar agama Islam kepada A. Hassan meski pada tahap permulaan hanya melalui obrolan di percetakan. Lambat laun Soekarno belajar lebih aktif melalui buku – buku dan majalah – majalah karang A. Hassan.
Terlebih lagi ketika Soekarno menjalani hukuman pembuangan oleh pemerintah kolonial Belanda di Endeh Flores. Dalam kesepiannya Bung Karno merasa terhibur dengan datangnya kiriman buku – buku dan majalah – majalah dari A. Hassan. Setiap kapal yang merapat ke Endeh, selau membawa kiriman dari Bandung dari Tuan Hassan, tidak hanya buku dan majalah tetapi juga makanann kegemaran Bung Karno, biji jambu mede. Sejak di Endeh Flores itulah, Soekarno mengakui A. Hassan sebagai gurunya dalam hal agama. Lihatlah beberapa surat yang dikirimkannya kepada A. Hassan yang terdapat dalam buku karangan Soekarno Di Bawah Bendera Revolusi dalam satu bab Khusus Surat – surat Islam Dari Endeh, dari Ir. Soekarno kepada Tuan A. Hassan, Guru “Persatuan Islam”
Surat – surat Islam dari Ir. Soekarno kepada A. Hassan dapat menjadi saksi begitu dekatnya Soekarno dengan A. Hassan, meskipun sebelumnya terjadi polemik berkepanjangan tentang Islam dan faham kebangsaan. A. Hassan selalu menghantam kaum nasionalis netral agama di bawah pimpinan Soekarno dalam tulisan – tulisannya di majalah Pembela Islam. Namun, A. Hassan tidak pernah dendam kepada Soekarno dan kawan – kawannya. Hal ini terbukti ketika Soekarno berada di dalam penjara Sukamiskin, A. Hassan dan kaum pembela Islam yang rajin menjenguknya dan memberikan buku – buku bacaan dalam penjara itu. Inilah suatu hal yang istimewa dalam diri A. Hassan. Beliau menganggap Soekarno adalah kawannya, dan tak pernah mendapat pujian dari padanya tentang  gerakan dan cita – cita nasionalismenya. Hanyalah kritik dan hantaman tajam. Tetapi ketika Soekarno berada baik dalam penjara maupun pembuangannya di Endeh, A. Hassan memperlihatkan kebersihan hati dan jiwanya. A. Hassan beranggapan bahwa Soekarno adalah seorang “muallaf” yang perlu diberi bimbingan ruh batiniahnya dengan keislaman. Ia menganggap Soekarno adalah kawannya yang selalu ditentangnya, kawan yang selalu menjadi lawan polemik dan kritik. Dalam hal ini tepatlah jika Tamar Djaja mengistilahkan A. Hassan dengan perumpamaan : “Singa dalam tulisan, tapi domba dalam pergaulan”.
Pada Senin, 10 Nopember 1958 di Rumah Sakit Karang menjangan (Rumah Sakit Dr. Soetomo) Surabaya, A. Hassan berpulang ke rahmatullah dalam usia 71 tahun. Ulama besar yang dikenal dengan A. Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau A. Hassan Bangil (sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian, dan kegigihannya dalam menegakkan Al – Qur’an dan As – Sunnah meski kadang di sampaikannya dengan pemikiran yang “radikal”, sehingga tepatlah Syafiq A. Mughni (1980) memberi judul bukunya tentang A. Hassan dengan judul Hassan Bandung, pemikir Islam Radikal.
B.       Karier Intelektual
Sekitar usia tujuh tahun, sebagaimana anak – anak pada umumnya, bersekolah dan mengaji. A Hasan mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 sambil berusaha belajar privat untuk menguasai bahasa Arab dengan maksud. pada  agar dapat memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Pelajaran yang diterima A Hasan saat itu sama saja dengan apa yang diterima oleh anak – anak lain, seperti tata cara shalat, wudhu dan shaum.
A Hasan lebih banyak mempelajari ilmu nahwu dan ilmu sharaf pada Muhammad Thalib. Pada saat gurunya pergi menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa Arab pada Said Abdullah Al – Musawi selama tiga tahun. Di samping itu, ia pun belajar pada pamannya, Abdul Lathif seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura, serta belajar pula pada Syekh Hasan ulama asal Malabar, dan Syekh Ibrahim ulama asal India. Dalam mempelajari dan memperdalam agama Islam kira – kira 1910, menjelang ia berusaha 23 tahun.
Di samping belajar memperdalam agama Islam, dari 1910 hingga 1921, A Hasan menekuni berbagai macam pekerjaan di Singapura. Sejak 1910 ia telah menjadi guru tidak tetap di Madrasah orang – orang India di Arab Street, Baghdad Stereet, dan Geylang hingga 1913. Kemudia menjadi guru tetap menggantikan Fadlullah Suhaimi pada Madrasah Assegaf di jalan Sulthan. Sekitar 1912 – 1913, A Hasan menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang di terbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.
Di samping itu, pidato – pidatonya pun kadang – kadang bersifat kritis. Dalam sebuah pidato ia mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga oleh pihak pemerintah ia dianggap berpolitik dalam berpidatonya itu, akhirnya ia tidak diperkenankan lagi berpidato di muka umum. Setelah berhenti beberapa saat, sejak 1915 – 1916, ia kembali aktif membantu surat kabar Utusan Melayu dengan bentuk dan sifat tulisan yang sama.
C.           A. Hassan Ulama ahli Debat
Banyak pihak yang mengenal A. Hassan sepakat bahwa ia memiliki retorika yang kuat. Gagasan – gagasannya jernih dan bernas. Oleh karena itu, sering dijumpai A. Hassan terjun dalam berbagai forum perdebatan dan polemik dengan beragam tokoh agama, bahkan dengan tokoh – tokoh nasionalis. Dr. Syafiq Mughni mengatakan bahwa, dengan A. Hassan sebagai pembicara utamanya, Persis menjadi satu – satunya organisasi Islam yang suka berdebat, atau menurut istilah Prof. Dr. Deliar Noer, Persis akan gembira dengan perdebatan dan polemik. Tampaknya perdebatan merupakan salah satu sarana Persis untuk mengembangkan paham – pahamnya. A. Hassan merupakan motor pembicara yang sangat populer dan disegani. Beberapa masalah yang yang terangkat kepermukaan antara lain, soal talqin, tahlil, lafall niat, bid’ah, khurafat, taklid, dan sebagainya. Masalah – masalah itu boleh dikatakan baru sebagai tema diskusi sehingga kerap menimbulkan salah paham.
Polemik tentang masalah – masalah di atas menghadapkan A. Hassan dengan Al – Ittihadul Islamiyah di Sukabumi, dengan tokohnya Kiai Sanusi, lalu dengan Majelis Ahlus – Sunnah di Bandung. Tahun 1932, di Ciledug, Cirebon, perdebatan terjadi dengan tokoh NU lokal, Haji Abdul Khair, dan di Gedang Cirebon tahun 1936 demgan Maqsudi. Pada tahun 1935. A. Hassan berdebat dengan tokoh NU yang pernah di jumpainya, yaitu K.H. Wahab Hasbullah. Sebelum tokoh NU itu datang ke Bandung, sudah tersiar berita bahwa ia akan berceramah tentang kewajiban taklid bagi umat Islam. Dengan cepat Persis mengajukan ke NU cabang Bandung untuk membantah hukum wajib taklid. Akan tetapi, permohonan itu ditolak. Persis sendiri malah mengumumkannya di beberapa surat kabar dan menyebarkan selebaran tentang haramnya bertaklid. Akhirnya, permintaan Persis diluluskan dan pertemuan kedua tokoh itu terjadi tanggal 18 November 1935.
Menurut K.H. Wahab Hasbullah, umat Islam yang tidak dapat berijtihad, baik mengetahui dalilnya atau tidak, wajib bertaklid kepada Imam empat Madzhab itu. Dasarnya adalah al – Qur’an:
“kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang – orang lelaki yang kami beri wahyu. Oleh karena itu, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui”. (Q.S. 16:43)

Sedangkan pendapat A. Hassan tentang ittiba bagi mereka yang mengikuti, menurut K.H. Wahab Hasbullah, tidak dikenal dalam agama Islam. (Subhan:2000:96)
Perbedaan pandangan juga membuat Persis dan SI retak tahun 1932. Persis memberi perhatian terhadap apa yang membentuk amaliah dan penekanan pada masalah – masalah taklid, talqin dan niat untuk diangkat ke dalam gerakan politik. Menurut Persis, kemunduran umat Islam adalah karena mengabaikan prinsip – prinsip agama dan melemahkannya melalui bid’ah. (Subhan:2000:96). Sikap itu bertentangan dengan H.O.S. Tjokroaminoto yang yakin bahwa perbedaan itu harus diminimalisi demi persatuan umat.
Selain itu dengan pihak Ahmadiyah Qodiyan. A. Hassan berhadapan dengan tokoh – tokoh mereka seperti Rakhmat Ali, Abu Bakar Ayyub, dan Abdul Razaq. Debat itu didominasi oleh persoalan kebenaran tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad. A. Hassan dengan tegas mengatakan bahwa dalil Ahmadiyah Qodiyan tidak benar, dan argumentasi yang dikemukakan juga tidak betul. Forum debat itu terjadi tiga kali antara tahun 1933 – 1934, baik di Bandung maupun di Jakarta. Hasilnya justru tokoh yang ketiga (Abdul Razaq) bertobat dan mengundurkan diri dari Ahmadiyah Qodiyan. (Subhan:2000:97)
Dengan pihak Kristen pun, yakni Seven Day Adventist. A. Hassan berdebat tentang kebenaran agama Kristen dan Bibel. Decade 1930-an umat Islam sering mendapat cercaan pihak – pihak lain, terutama orang – orang Kristen. Cercaan itu bahkan menyerang pribadi Nabi Muhammad Saw. Tercatat. Pada April 1931, seorang pendeta di Jawa Tengah, Johannes Josephus Ten Berger, menulis artikel bahwa Nabi Saw. adalah seorang antropomorfis dan terlalu memperhatikan seks dan wanita untuk membangun agama yang lebih tinggi. Juga artikel Oei Bee Thay dan Hoakien menyebutkan bahwa Nabi Saw. adalah seorang pembunuh aspiran, gila, dan perampok. Tahun 1937, Siti Sumandari dan Soeroto, dalam tulisannya mengatakan, bahwa pandangan Islam tentang masalah pernikahan dan poligami karena keinginan dan kecemburuan Nabi Saw.
D.           Wafatnya A. Hassan
Masa tua Ahmad Hassan tampaknya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus pesantren Bangil, meski tetap memandang secara kritis kebijakan pemerintah mengenai Islam. Ia tetap menjadi tokoh kunci dalam bidang pendidikan Islam dan tetap menganjurkan agar potensi Islam tampil dalam pentas nasional.
Ketika usianya melewati 70 tahun, tepatnya tanggal 10 November 1958, A. Hassan meninggal dunia. Ia mewariskan berbagai pembaharuan terhadap Islam yang tak ternilai harganya, baik melalui berbagai perdebatan dan pandangannya yang kritis ataupun berbagai buku – buku yang tentu saja dapat di baca oleh generasi muslim sesudahnya. Pada hari – hari terakhirnya, tumpukan buku masih terlihat di dekatnya. Cara pandangannya selalu kritis terhadap berbagai persoalan ibadah dan muamalah, menyebabkan ia termasuk sedikit ulama yang kritis (Subhan SD:2000:119-120).

BAB II
A. Hassan Pemikirannya dengan Persatuan Islam

A. Hassan memasuki Persatuan Islam sebagai anggota resmi. A. Hassan merasa tertarik dengan kegiatan – kegiatan organisasi ini, sehingga berani meninggalkann rencana semula untuk memajukan tekstilnya di Surabaya. Selanjutnya A. Hassan tekun dan serius memusatkan perhatiannya dalam penelitian agama, mengajar dan giat memajukan organisasi. Kehadiran A. Hassan betul – betul merupakan tenaga baru bagi Persatuan Islam, pandangan – pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian nyata, sehingga bisa menempatkan Persatuan Islam dalam barisan muslim pembaru.
Dalam usaha pemabaharuannya, A. Hassan memiliki etos juang dan metode pendekatan yang heroik, meski ia pun tetap memiliki kepribadian yang simpatik, sabar dan supel. Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pikiran dan cita – citanya, dengan cara debat yang cenderung menantang konflik, sehingga banyak mengundang respon dan gejolak yang cukup hangat. Berkali – kali, di berbagai tempat ia melakukannya, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim. Kegiatan lain dilakukannya dalam bidang penafsiran Al – Qur’an dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dikenal dengan tafsir Al – Furqon, penerbitan, melancarkan polemik – polemik yang dapat merangsang pemikiran dan daya kritis umat yang lebih besar. Al – Lisan misalnya, media cetak berkala Persatuan Islam, menjadi corong yang mengagungkan suara Persatuan Islam bukan saja dalam pemikiran hukum Islam, tetapi juga melancarkan polemik – polemik muamalah, politik dan ideologi pada jamannya. Kegaitan A. Hassa ini cukup memberikan dampak positif, sekaligus menjadi model bagi kepentingan gerakan pemabaruan Islam di tanah air. Bahkan pengaruh pemikiran A. Hassan kini telah tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Singapuran dan Muangthai.
Bila dibandingkan dengan dua ulama terkemuka pendiri organisasi lainnya, semisal K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiya, dan K.H. Hasyim Asyari, pendiri NU, tampaknya ia tidak populer mereka. Barangkali, kalau mau ditilik lebih dalam lagi, hal itu agaknya berkaitan dengan organisasi Persisnya, karena penyebarannya tidak terlampau menjamur, suatu perkembangan yang berbeda dengan Muhammadiyah dan NU.
Padahal, perdebatan mengenai keislaman yang kerap menimbulkan polemik pada dekade 1920-an hingga 1930-an, tentu saja tidak dapat dituliskan tanpa peran penting ulama yang satu ini.
Oleh karena itulah, ia disejajarkan dengan ulama – ulama reformasi lainnya yang banyak dipeengaruhi oleh pandangan – pandangan Syekh Muhammad Abduh. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama besar Prof. Dr. Hamka bahwa di Jawa ada tiga ulama yang terkemuka yang menyebarkan paham – paham Syekh Muhammad Abduh, yakni syekh Muhammad Syoorkati, pembangun Al – Irsyad, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan A. Hassan yang menjadi salah satu pendiri Persis. (Subhan SD:76: 2000)
Dalam wacana Islam, nama Ahmad Hassan tentu tidak dapat dilepaskan dari radikalisme pemikiran Islam. Ia dikenal sebagai pendebat ulang yang karena logika berpikirnya, ia banyak dihormati, termasuk oleh lawan – lawan debatnya. Tanpa segan – segan, ia menolak berbagai hal yang diyakininya bertentangan dengan Islam, mulai dari masalah ibadah hingga persoalan sosial politik umat Islam. Dalam mempertahankan pendapatnya, sikapnya sangat keras dan konsisten.
Sebagai ulama militan, ia tidak diragukan lagi. sepanjang hidupnya dia mendebat orang – orang atheis, Ahmadiyah, Kristen, bahkan sempat menyadarkan sebagian diantara mereka. Kslu berdebat, lawannya selalu diberondong terus – menerus hingga mati kutu. Ia mempunyai resep tentang itu, “kalau lawan bertanya harus dijawab dengan pertanyaan pula, lalu carilah kelemahan pada tiap – tiap perkataan. (Subhan: 77: 2000)
Yang sangat mencolok adalah keteguhannya berpegang pada Al – Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam. Ia tak memberi toleransi pendapat, terutama jika tanpa sama sekali mengacu pada dua sumber tersebut. Karena sikapnya kerasnya itu, banyak timbul kecaman dari pihak lain, termasuk teman – temannya sendiri. Tampaknya berbagai pandangan A. Hassan seakan menantangn pendapat umum yang justru sudah melembaga dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat.
Meski berbeda pendapat, ia tidak pernah mempedulikannya. Mau di sanjung atau dibenci, baginya, tidak menjadi soal. Ia tidak pernah menggadaikan dirinya. Oleh karena itu, tidak aneh bila membaca berbagai tulisannya yang tersebar, baik berupa  buku yang jumlahnya cukup banyak atau yang ada di media massa, ia dianggap garang seperti singa, meski sesungguhnya dalam pergaulan ia dikenal ramah seperti domba. Sentuhan kemanusiaannya sangat terasa. Misalnya, ia sangat menghargai tamu yang datang kepadanya. Bahkan, setiap surat yang dikirimkan dari siapa saja untuk bertaya tentang masalah – masalah keagamaan, ia pasti membalasnya.
Oleh karena itu, dapat di pahami jika A. Hassan dengan telaten membalas surat – surat yang dikirimkan Soekarno dari tempat pembuangannya di Ende, Flores, pertengahan tahun 1930-an.
Hal itu terbukti Persatuan Islam menjelma menjadi Organisasi yang paling ekstrim dan liberal dalam melakukan penentangan terhadap tradisi – tadisi yang dianggap merupakan ajaran agama, bid’ah, khurafat dan tahayul, disamping Muhammadiyah dan Al – Irsyad.
Alam pemikiran dengan gaya khas keras seperti itu, semakin menemukan bentuknya ketika A. Hassan memperkenalkan pendapatnya tentang beragama yang benar, yaitu hubungan manusia dengan tuhan tergantung pada benar tidaknya ia memahami dan melaksanakan hukum – hukum Islam. Beberapa pendapatnya tentang agama adalah sebagai berikut (Badri Khaeruman: 2010: 48)
1.         Kehidupan seorang muslim tidak dapat dipisahkan dari ketentuan – ketentuan hukum Islam sebagai konsekuensi logis dari penyerahan dirinya (dalam bahasa arab aslama) kepada Tuhan. Manusia sebagai abid atau hamba harus melaksanakan tugasnya yaitu ibadah atau taat sepenuhnya kepada Allah sebagai khaliq atau pencipta, dan sekaligus Ma’bud atau yang dipertuan, atau sebagai sumber kekuasaan. Untu itu setiap orang harus membersihkan dirinya dari kepercayaan dan tradisi yang tidak diperintahkan oleh Islam.
2.         Betapa pun besarnya seorang ulama atau imam, menurut A. Hassan, ia tidak lebih dari seorang guru yang dapat mengajarkan ilmu – ilmunya kepada masyarakat. Tetapi setiap anggota masyarakat memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendapatnya. Oleh karena itu, A. Hassan tidak membenarkan adanya madzhab. Pendapat madzhab empat yang terkenal itu pun bisa salah jika ternyata tidak sesuai Qur’an dan Sunnah.
3.         Secara umum hidup ini berdasarkan Qadha dan Qadar Allah. Seseorang yang menempati suatu rumah atau pun tidak menempatinya, itu semua adalah takdir Allah. Jadi tidak ada kekuasaan lain seperti hari dibuatnya rumah itu, atau kemana menghadapnya rumah itu, yang dapat menentukan seseorang menempati rumah atau tidak. Dengan perkataan lain seorang muslim tidak boleh mempercayai naas, tempat naas dan sebagainya, karena kepercayaan itu mengurangi ke imanannya kepada Allah Yang Maha Esa, atau bahkan ia telah menjadi musyrik, suatu dosa besar dalam Islam
Pemahaman ini kemudian diterima oleh sebagian besar anggota Persatuan Islam, tetapi menjadikan beberapa anggota yang lain terpaksa menyingkir, karena mereka tidak sependapat. Mereka merasa perlu tetap bermadzhab untuk kejelasan hukum – hukum dan cara beribadah. Maka tidak dapat dihindari kelompok kecil yang tidak sependapat dengan A. Hassan ini kemudian memisahkan diri dan membentuk kelompok tadingan yang diberi nama “Permufakatan Islam”, dan memang mereka ini adalah atas orang – orang yang berpaham Islam Tradisonal. Sedangkan sebagian besar anggota Persatuan Islam sebagian besar anggota Persatuann Islam tetap pada pendiriannya dan bahkan menyatakan Persatuan Islam sebagai gerakan Islam modern. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1926. (Badri Khaeruman: 48 – 49)
Dalam buku karya Drs. Syafiq A. Mughni yang berjudul HASSAN BANDUNG Pemikir Islam Radikal, dikemukakan tentang pemikiran – pemikiran A. Hassan yang setidaknya setiap masalah selalu dihubungkan dengan tiga masalah, yaitu: (a) Sumber Hukum Islam (b) Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid (c) Bid’ah
a.        Sumber Hukum Islam
A.   Hassan tidak pernah membatasi secara tegas jumlah sumber hukum itu, tetapi yang pokok ialah Al – Qur’an dan As – Sunnah. Sedang Ijma dan Qiyas sesungguhnya tidak berdiri sendiri.
Al – Qur’an, menurut bahasa berarti “bacaan”, menurut istilah “nama kitab yang utama agama Islam yang isinya semata – semata wahyu Allah kepada Muhammad”. Al – Qur’an juga merupakan kitab suci ummat Islam yang kalimat, rangkain dan susunannya, isi dan maknanya dari Allah. Demikian penjelasan A. Hassan.
As – Sunnah/ Al – Hadits, menurut bahasa artinya: yang baru, khabaran. Sedangkan menurut Istilah dalam Ilmu Mushthalah Hadits ialah “khabaran yang berisi ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat atau kebenaran, yang orang katakan dari Nabi Saw, maupun khabaran itu sah dari Nabi Saw atau tidak”. Ada lagi menurut Ilmu Ushul Fiqh, bahwa yang dimaksud Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan menurut Istilah syara ialah perkataan Nabi Muhammad Saw. perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau yang diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi , tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya.
Ulama – ulama hadits membagi hadits menjadi dua bagian, yang boleh dipakai dan yang tidak. Hadits yang boleh dipakai ada dua bagian yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir ialah hadits yang didengar dari Nabi oleh orang banyak, lalu disampaikan kepada orang banyak. Begitulah seterusnya sampai tercatat di kitab – kitab hadits. Sedangkan Ahad, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh orang – orang yang tidak sebanyak hadits Mutawatir.
Hadits yang tidak boleh dipakai, dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits lemah riwatnya dan yang palsu riwayatnya. Kedua macam hadits ini tidak boleh dipakai untuk menetapkan sesuatu hukum hala, haram, sunnah atau makruh. Ia hanya boleh dipakai untuk membantu keterangan saja, bukan jadi pokok pedoman.
Demikian pandangan – pandangan A. Hassan tentang pemakaian hadits. Adapun hadits dhaif yang dipakai untuk fadla’ilul A’mal, A. Hassan menyatakan keberatan, karena betapapun hadits dhaif adalah hadits yang tidak dapat diakui datang dari Nabi. (Syafiq A. Mughni:1980:24)
Jadi yang bisa dipakai sebagai sumber hukum Islam ialah hadits – hadits yang sah riwayatnya, disamping tidak bertentangan dengan ayat Al – Qur’an atau hadits yang riwayatnya lebih kuat. Jika ada yang demikian, maka hadits tersebut hendaklah di takwilkan dengan arti yang tidak menyimpang dari ketentuan Bahasa Arab. Tetapi bila tidak mungkin di takwilkan maka harus di diamkan (tawaqquf) sementara, yakni tidak dipakai.
Ijma, menurut bahasa yaitu, “bersatu, mengadakan persatuan, mengumpulkan”. Menurut Istilah dalam Ilmu Ushul Fiqh ialah “kebulatan pendapat semua ahli ijtihad ummat Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)”.
A.   Hassan menyatakan bahwa sebagian ulama memandang keputusan mujtahidin  seperti itu sebagai pokok sumber hukum Islam seperti Al – Qur’an dan hadits, sedang yang lain tidak membenarkannya karena disamping tidak alas an yang kuat juga tidak dapat dipastikan berkumpulnya semua ulama mujtahidin tertentu.
Ijma yang diakui oleh A. Hassan ialah Ijma Shahabat Nabi. Ijma ini diterima sebagai sumber hukum Islam, karena kita percaya bahwa mereka tidak akan berani bersepakat menentukan suatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi. Sekaligus ini berarti bahwa pada hakikatnya Ijma Shahabat itu tidak berdiri sendiri dan oleh karena itu tidak perlu dijadikan sumber hukum Islam yang pokok seperti Al – Qur’an dan Al – Hadits. (Syafiq A. Mughni:1980:25).
Qias, menurut bahasa artinya menimbang, mengukur, membandingkan, menentukan”. Dalam istilah agama, Qias berarti “memberikan suatu hukum yang sudah ditentukan oleh agama untuk suatu perkara kepada perkara lain yang hukumnya belum ditentukan oleh agama, karena keduanya ada persamaan”. Selanjutnya A. Hassan memberikan contoh Qias antara gandum dan beras.  Dalam hukum Islam, ummat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat gandum. Kita telah mengetahui bahwa zakat antara lain diberikan untuk menolong fakir miskin. Oleh karena di Indonesia tidak di tanam gandum atau makanan pokoknya bukan berapa gandum akan tetapi berupa beras, sedang fakir miskin tetap memerlukan pertolongan, maka kita harus mengeluarkan zakat beras. Menyamakan gandum dengan beras itu dinamakan Qias.
Dalam masalah keduniaan, A. Hassan membenarkan Qias dipakai sebagai cara menentukan hukum, asal hukum itu diambil dari Al – Qur’an atau Hadits. Jika demikian maka Qias tidak berdiri Sendiri. Oleh karena itu bukanlah pokok.
Dalam masalah ibadah, A. Hassan menolak sama sekalia adanya Qias, karena berarti penambahan baru dalam ibadah. Selain ibadah yang telah ditentukan Allah dan Rasulnya terbilang bid’ah. (Syafiq A. Mughni:1980:26)
b.        Ijtihad, Ittiba dan Taqlid
Ummat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya melalui tiga jalan. Jalan tersebut ialah Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid. Ketiga hal itu menjadi permasalahn yang hangat dibicarakan di antara ummat Islam, dan A. Hassan adalah seorang yang terlibat di dalamnya.
Ijtihad, oelh Hassan diartikan “bersungguh-sungguh”. Maksudnya ialah bersungguh-sungguh memeriksa keterangan tentang suatu perkara yang sulit, dengan memahami secara halus atau dengan mengqiaskan, sungguhpun mengqias itu hanya dipakai dalam urusan agama yang sifatnya keduniaan.
Untuk menjadi seorang mujtahid harus tahu bahasa Arab dan ilmunya, ilmu tafsir, ilmu ushul fiqh, ilmu hadits sekedar untuk memeriksa dan memahami arti dan maksud ayat – ayat Al – Qur’an dan As – Sunnah. Demikian syarat mujtahid menurut A. Hassan.
Kapan ijtihad bisa dilakukan? A. Hassan berpendapat bahwa ijtihad mungkin terjadi kapan saja sejak zaman Nabi, Shahabat, tabi’in dan seterusnya samapai masa – masa yang akan datang.
Menurut A. Hassan pada dasarnya agama mengharuskan agar setiap orang dalam rangka mengamalkan dan memahami agama, dengan jalan ijtihad, kecuali bagi orang – orang yang tidak memenuhi syarat. Jika demikan halnya maka ia harus memilih alternatif lain yaitu Ittiba.
Ittiba, menurut bahasa artinya mengikut, membuntut. Selanjutnya A. Hassan memberi pengertian bahwa ittiba ialah menurut, menerima atau mengerjakan sesuatu yang ditunjukan oleh seseorang dengan mengetahui alasannya dari Al – Qur’an atau As – Sunnah. (Syafiq A. Mughni:1980:27)
Seorang yang berittiba (muttabi) tidak selalu mengetahui bahasa Arab dan tidak harus mampu memeriksa sah tidaknya suatu hadits. Ia cukup memahami dengan diterangkan arti dan kedudukan dalil – dalilnya oleh seorang muttaba (yang diikuti).
Sebagaimana ijtihad, ittiba ini menurut A. Hassan mungkin terjadi pada zaman Nabi, Shahabat, Tabi’in dan seterusnya tanpa batas waktu.
Taqlid, oleh A. Hassan diartikan meniru, menurut, mencontoh. Maksudnya ialah meniru mengerjakan atau menerima suatu hukum dari seseorang dengan tidak mengetahui alasannya dari Al – Qur’an atau As – Sunnah.
A.      Hassan menentang cara taqlid ini secara keras karena menurut pendapatnya “Allah haramkan kaum muslimin taqlid kepada siapa pun, walau bagaimana pun besar pangkatnya dan ilmunya, kecuali kepada Allah dan Rasulnya. Orang yang tidak bisa ijtihad wajib ittiba yakni turut sesuatu dengan tahu alasannya dari Al – Qur’an atau Hadits”.
Larangan taqlid itu bukan saja dari Al – Qur’an, bahkan imam – imam yang empat dengan keras dan berulang – ulang melarang orang lain menurut mereka dan bahkan menurut pendapatnya, kita harus kembali kepada nash – nash yang lebih kuat jika terdapat perbedaan.
Diantara ayat Al – Qur’an yang tegas – tegas melarang taqlid ialah (Q.S. Bani Israil: 36)
Artinya: “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban”.

Ayat itu menunjukan haramnya taqlid, termasuk kepada ima – imam madzhab, karena menurut pengertian A. Hassan, bermadzhab itu sama dengan bertaqlid.
Sebagai manusia biasa seorang imam madzhab tetap terbuka kemungkinan berbuat salah dalam mengambil suatu keputusan dengan sengaja atau tidak, mereka bukan ma’shum sebagaimana Nabi – nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat dikalangan imam – imam madzhab, karena masing – masing tidak mendapatkan sunnah rasul secara lengkap sehingga mereka bersusah payah mengadakan ijtihad. Mereka tidak memiliki bahan yang sama, apa yang didapat oleh seorang imam mungkin tidak diketahui oleh imam lainnya, sehingga pendapat mereka berbeda – beda.
Tetapi menurut A. Hassan, sekarang sunnah rasul sudah banyak ditulis dalam berbagai kitab, sehingga lebih mudah mendapatkan hadits – hadits, maka kita tentu lebih mudah berijtihad bagi yang memenuhi syarat – syaratnya. Adapun bagi yang tidak mampu bertijtihad, wajib ittiba dan tidak boleh bertaqlid.
Pikiran A.hassan tentang ijtihad, ittiba dan taqlid ini menjadi salah satu koreksi terhadap sistem ummat Islam memahami dan mengamalkan ajaran agama pada saat itu, dan sekaligus merupakan tantangan terhadap doktrin tertutupnya pintu ijitahad.
c.         Bid’ah
Seorang beragama mewujudkan penghambaan kepada Tuhan denga suatu sistem ibadah yang diatur menurut cara – cara tertentu. Khusus dalam Islam penghambaan diri itu berwujud ibadah dengan cara yang diatur menurut ketentuan ajaran Islam, ajaran yang bersumber pada Al – Qur’an dan As – Sunnah.
Bagi pemeluk islam, menurut A. Hassan, beribadah kepada Allah ialah mengerjakan perintah – perintahnya, sembari menjauhi larangan – larangannya.
Seluruh aktifitas seorang muslim yang dilakukan dalam rangka itu, pada hakikatnya adalah ibadah menurut pengertian yang luas, tetapi di sisi lain ada pengertian ibadah dalam arti khas. Ibadah dalam arti khas itu, A. Hassan menyebutnya sebagai masalah yang berkenaan dengan ke akhiratan, sedang diluar itu disebut masalah keduniaan.
Ajaran yang terkandung dalam Al – Qur’an dan Hadits menurut A. Hassan adan dua macam perkara, yaitu yang berkenaan dengan (1)  keduniaan (2) keakhiratan.
Keduniaan, menurut pengertian A. Hassan ialah segala masalah atau perbuatan yang bisa atau mungkin dikerjakan manusia, walaupun seandainya tidak ada agama di dunia ini. Hal yang demikian disebut juga “ma’qulul ma’na” yaitu sesuatu yang sebab dan maksudnya bisa dipahami oleh akal pikiran. Perkara keduniaan ini jika ditetapkan oleh agama, disebut urusan agama bagi keduniaan. Jika agama mewajibkan maka hukumnya wajib, jika mensunnahkan hukumnya sunnah dan jika memakruhkan sebaiknya ditinggalkan. Jika sama sekali tidak ditegaskan oleh agama, hukumnya adalah mubah.
Tentang keakhiratan, A. Hassan menyebutkan sebagai masalah atau yang seandainya tidak ada petunjuk agama, manusia tidak akan mengerjakannya. Hal ini dinamakan “ghairu ma’qulil ma’na yaitu sesuatu yang sebab dan tujuannya tidak bisa dipahami oleh akal pikiran. Dalam masalah ini hanya ada hukum wajib dan sunnah, sedangkan selain itu adalah haram dan bid’ah. Dan dengan demikian tidak ada bid’ah lain kecuali haram.
Khusus dalam masalah yang kedua itu bisa disebut ada dalam Islam, jika didasarkan atas keterangan sumber – sumber hukum Islam. Bila tidak, maka itulah yang hakikatnya disebut bid’ah. A. Hassan menyebut bid’ah sebagai perbuatan atau bacaan yang bersifat keakhiratan (ibadah) yang dilakukan orang, padahal tidak ada keterangan dari agama, yaitu menurut sumbernya yaitu Al – Qur’an dan As – Sunnah.
Agama Islam dengan amat keras melarang umat Islam melakukan bid’ah. Demikian kerasnya larangan itu, kata A. Hassan, maka seorang yang darang menghadiri acara yang didalamnya terdapat bid’ah adalah haram, kecuali jika kedatangannya itu untuk mengubah dengan tangan atau ucapan.
Dalam beribadah kepada Allah, seseorang harus melakukannya persis seperti yang termaktub dalam Al – Qur’an dan di contohkan Nabi, tanpa penambahan atau pengurangan. Oleh karena itu A. Hassan menolak bacaan Ushalli ketika memulai shalat, bacaan wa bi hamdih dalam tasbih rukuk dan dan sujud, dalam bacaan Sayyidina dalam shalawat tasyahud, dan doa qunut selain qunut Nazilah, serta :qadla’us shalah” yaitu menunda shalat, karena masing – masing tidak berdasarkan keterangan agama, dan oleh karena itu haram dikerjakan.
Demikian pula upacara – upacara yang dihukum A. Hassan sebagai bid’ah antara lain, Talqin mayat yang baru ditanam dalam kubur, jamuan makan dan Tahlil di rumah keluarga yang kematian, membaca maulid sambil berdiri, pesta bulan ke tujuh bagi orang hamil atau tingkeban.
Pandangan A. Hassan tentang bid’ah ini sekaligus merupakan seruan kepada ummat Islam untuk melihat kembali cara mereka melaksanakan ajaran Islam. Tentu saja hal ini mengundang beberapa tanggapan karena menyangkut suatu kebiasaan yang telah mapan dikalangan mereka, sungguhpun kemudian ternyata diantara mereka ada yang memiliki alasan, tetapi setidak – tidaknya mereka mengadakan pandangan kembali terhadap amalan selama ini.
d.   Paham Kebangsaan
Sebelum Indonesia merdeka ada beberapa pergerakan yang berjuang menuju kemerdekaan Indonesia. Di antaranya ada yang berdasarkan kebangsaan yakni semata-mata untuk kepentingan bangsa tanpa menjadikan agama tertentu sebagai pandangan politik dan sumber inspirasi. Di pihak lain ada yang sebaliknya yaitu berdasar dan bercorak agama tertentu. Pihak pertama tidak menghendaki dan bahkan melarang orang melibatkan agama dalam segala pembicaraan serta tidak menghendaki islam di jadikan dasar sesuatu sungguh pun mereka pemeluk Islam. Inilah yang di sebut sebagai netral agama.
A.   Hassan memandang sikap ini sebagai menyempitkan langkah mempersatukan bangsa Indonesia karna pada hakikatnya menjurus pada benci agama. Ia menerima sikap netral agama itu jika di artikan sebagai suatu sikap memberi kesempatan orang mengemukakan pendapat sesuai dengan keyakinan agama masing-masing.
Apakah demikian kenyataan yang ada? A. Hassan menganggap kenyataan saat itu menunjukan bahwa paham kebangsaan dipakai oleh pergerakan yang bersikap tidak tau menau agama mereka untuk mencapai kemerdekaan, yang nantinya akan di laksanakan hukum-hukum buatan manusia sendiri. Sebaliknya pergerakan Islam berusaha mencapai kemerdekaan yang nantinya akan di laksanakan hukum-hukum Islam.
Jika paham kebangsaan seperti yang tertera di atas maka secara tegas A. Hassan menolaknya karna di anggap tidak sesuai dengan ajaran islam.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena membela ashabiyyah.”

Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Rasulullah Saw ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, berperang karena mempertahankan diri dan berperang karena riya. Manakah yang termasuk di jalan Allah? Rasulullah Saw menjawab: barang siapa yang berperang untuk menjunjung tinggi kalimah Allah maka ia di jalan Allah”.

Ke dua hadits itu, menurut A. Hassan, menunjukan bahwa seseorang tidak boleh mengorbankan jiwanya selain karena Allah, tidak karena bangsa dan tanah air.
Dengan hadits-hadits itu A. Hassan berpandangan bahwa cinta bangsa tidak terbilang ashabiyyah yang secara tegas tidak di ridhoi Allah, kecuali bila ada unsur-unsur kedzaliman.
Karena iyu satu-satunya pilihan bagi A. Hassan ialah ummat Islam harus melaksanakan hukum-hukum Allah dan untuk itu harus ada pemerintahan islam. Kali ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang mengharuskan terlaksananya hukum-hukum Allah. Jika tidak demikian maka kita berarti berbuat kedzaliman.
Hal inilah yang di artikan oleh A. Hassan dengan pergerakan paham kebangsaan pada saat itu, sehingga ia menilai:
“bahwa masuk dan membantu pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan itu menuju pada membuang undang-undang Allah dan Rasul-Nya dan menggantikan dengan hukum-hukum bikinan manusia, sebagai mana telah nyata dalam teori peraktik mereka”.

Cinta bngsa dan tanah air bagi seorang muslim ialah berusaha agar kaum muslimin (a) maju dalam pendidikan (b) maju dalam ekonomi (c) maju dalam tehnologi (d) sekurang-kurangnya tidak di bawah derajat negara-negara lain (e) mengurus negrinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam kitabullah dan Sunnah Rasul.
Pemikiran A. Hassan tentang paham kebangsaan dan pemerintahan ini adalah cerminan sikap politiknya yang benar-benar didasarkan atas ajaran Islam. Pemerintahan islam baginya adalah pilihan lain dari paham kebangsaan yang di anggapnya sebagai tidak memberikan tempat bagi agama. Ia menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinannya bahwa kebenaran ajaran islam adalah mutlak. Islam di pandangnya sebagai sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-batas ke bngsaan dan ketanah airan. Hal ini terlihat dalam sikapnya yang menentang terbatsnya ke anggotaan Masyumi khusus bagi orang Indonesia, sedangkan ia berdasarkan Islam.
A.   Hassan adalah seorang pemikir yang semasa hidupnya sebagian berada di alam penjajahan dan sebagian lagi di alam demokrasi liberal. Iklim saat itu amat memungkinkan tumbuhnya perbedaan pendapat, sampai pada masalah yang amat mendasar sekalipun, misalnya dasar negara dan undang-undang dasarnya.
Dalam iklim seperti itulah A. Hassan menyatakan keharusan adanya pemerintahan yang berdasarkan Islam. Namun demikian, Indonesia dengan berbagai bentuk UUD yang telah di ambil, belum pernah mengambil selain Pancasila. A. Hassan sebagai anggota Masyumi yang telah menerima kenyataan itu, nampaknya tidak pernah menolak sikap partainya. Hal ini membawa kemungkina bahwa A. Hassan menerima sikap partainya sebagai satu tahapan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam di Indonesia.